MEDIAPATRIOT.CO.ID – Jakarta, 27 Juli 2023 — Billy Mambrasar, menitikkan air matanya didepan ratusan orang, saat acara diskusi nasional “Youth Infrastructure Forum”, yang diadakan oleh Kemenko Perekonomian di Jakarta (27/07/2023). Billy menangis saat menceritakan kisah seorang Putra NTT yang gagal kuliah di Universitas Cendana (UNDANA) Kupang, karena tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diterapkan kampus tersebut. Putra NTT bernama Julianus itu ditemui oleh Billy beberapa hari yang lalu, saat berkunjung ke daerah Perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yakni di Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat kunjungan tersebut, banyak warga masyarakat yang mengeluhkan tingginya biaya SPP kampus negeri, dan beberapa dari mereka harus melupakan impiannya untuk menyekolahkan anak mereka ke perguruan tinggi.
“Sebagai seorang anak dari daerah terluar, kami memiliki banyak sekali ketertinggalan di bidang pendidikan, dan Provinsi terluar di Indonesia seperti NTT, Papua dan Maluku, tingkat masuknya anak muda ke Perguruan tinggi dibawah angka 10%. Masalah utamanya adalah karena masalah ekonomi. Saya beberapa hari yang lalu berjumpa dengan masyarakat NTT, dan berkunjung ke salah satu rumah warga, dimana anak laki-laki mereka yang baru saja dinyatakan lolos masuk program Sarjana Teknik Sipil di Universitas Cendana, NTT, harus kembali pulang kampung ke Atambua, Belu, menguburkan mimpinya untuk kuliah, karena orang tuanya tidak sanggup membayar Uang Kuliah Tunggal, atau SPP yang cukup mahal bagi mereka. Saya sempat memberikan sedikit bantuan uang, akan tetapi bantuan saya mungkin tidak akan cukup untuk kebutuhannya ke depannya”, ujar putra asli Papua yang dalam tugasnya membantu Presiden Jokowi ini kerap berkunjung ke wilayah Indonesia terluar.
Julianus, menyampaikan ke Billly Mambrasar, dalam Bahasa Tetun (Bahasa yang juga dipergunakan oleh warga Timor Leste), diminta untuk membayar UKT sebesar 3 Juta rupiah per semester, dan dia tidak sanggup membayarnya. Sementara ayahnya yang hanya berprofesi sebagai petani memiliki penghasilan kurang dari 1 juta, ditambah dengan ibunya yang tidak memiliki penghasilan tetap. Menyerah dengan keadaan, Julianus akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, dan membantu kedua orang tuanya untuk menjadi petani, dan abangnya yang beternak ayam, sembari menguburkan cita-citanya menjadi seorang insinyur.
“Saya juga bertemu dengan lebih dari satu orang seperti Julianus ini, di Aceh, Sulawesi, NTT, Maluku, NTB, dan Papua selama 4 tahun ini saya bertugas sebagai Stafsus Presiden dan berkeliling ke 30 Provinsi. Nasib mereka semua sama, yakni mereka harus menguburkan cita-cita mereka masuk perguruan tinggi karena masalah finansial. Ini alasan utama kenapa jumlah anak-anak Indonesia yang masuk ke Perguruan tinggi sangat rendah. Saya ingin bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman di Kemendikbud Ristek, dan Komisi X DPR RI terkait hal ini, dan mencari solusi terbaik, bagi anak-anak bangsa kita”, Ujar Staf Khusus Presiden RI Bidang Inovasi, Pendidikan dan Pembangunan Daerah terluar.
Data BPS di tahun 2021 dan 2022 menunjukkan bahwa kurang dari 11 % saja anak-anak Indonesia yang mampu mengakses pendidikan Tinggi. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini, menurut Billy Mambrasar, menjadi hambatan Indonesia untuk menjadi negara maju, sesuai cita-cita Presiden Joko Widodo, karena untuk menjadi negara maju, dibutuhkan SDM yang unggul dan terdidik, hingga perguruan tinggi. Salah satu faktor penghambat anak muda Indonesia daftar masuk perguruan tinggi adalah karena masalah finansial dan tingginya angka UKT tersebut.
Menurut Billy Mambrasar, ketika Status sebuah perguruan tinggi Negeri berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), maka seharusnya kampus tersebut berkreasi mencari berbagai bentuk pemasukan apakah dengan membuat unit usaha milik perguruan tinggi, jasa penyewaan aset, atau berbagai cara lain yang sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan badan hukum perguruan tinggi. Bukan bergantung sepenuhnya kepada bayaran UKT atau SPP mahasiswa untuk menutupi kebutuhan operasional kampus. Kebergantungan terhadap UKT akan membebani mahasiswa, utamanya mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah.
“Ketika saya berkuliah di perguruan tinggi di luar negeri, kampus tempat saya belajar memperoleh penghasilan untuk menutupi biaya operasional dari caranya memutarkan uang dengan berbagai bentuk usaha, seperti penyewaan aset, menjual hasil penelitian, bermitra dengan perusahaan, dan memanfaatkan dana abadi yang diinvestasikan ke berbagai sektor usaha, dan bukan biaya SPP sebagai satu-satunya sumber pemasukan”, ujar putra Papua pertama yang lulus dari Universitas Harvard di Amerika Serikat ini.
Billy Mambrasar berharap agar tidak banyak lagi anak Indonesia yang nasibnya seperti Julianus, yang harus menguburkan cita-citanya, karena masalah finansial, termasuk tingginya UKT atau SPP. Billy meminta agar Universitas Negeri yang berbadan hukum BLU, khususnya di daerah dengan basis kemiskinan tinggi seperti NTT, Papua dan Maluku, tidak membebankan mahasiswa untuk membayar UKT yang tinggi, tetapi dapat mencari cara lain untuk menutupi kebutuhan operasionalnya dengan berbagai bentuk bisnis sesuai dengan aturan.
Red Irwan