Jakarta, 19 Juli 2024. Komisi ASN menggandeng koalisi masyarakat sipil guna mengawasi netralitas ASN pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak November 2024 mendatang. Hal tersebut merespons “pelemahan” lembaga KASN sebagai pengawas ASN yang sedang berupaya meredam potensi peningkatan pelanggaran netralitas ASN. Sebab jika dibandingkan dengan pilkada 2020 yang diikuti oleh 270 daerah, pilkada tahun ini akan dilaksanakan di 38 Provinsi dan 514 kabupaten/kota.
“Kepada teman-teman dari koalisi masyarakat sipil, untuk bisa memberikan perspektif tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh pengawas independen. Kata ini yang mungkin akan sulit ditemukan ketika KASN akan dilikuidasi nantinya. Tetapi itu semua bukan hambatan, kami tetap melakukan tugas-tugas kami,” ujar Komisioner KASN Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Kode Perilaku ASN, dan Netralitas ASN (NKKNet), Arie Budhiman, membuka Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) “Memperkuat Peran Masyarakat Sipil Dalam Pengawasan Aparatur Sipil Negara” di Jakarta Pusat, Jumat (19/7/2024).
Dalam pengawasan KASN sejauh ini, Arie melihat adanya anomali data karena jumlah ASN yang terbukti melanggar sekarang lebih sedikit dibandingkan dengan pilkada serentak 2020 lalu. Hingga Juli 2024, terdapat 587 laporan pengaduan pelanggaran netralitas ASN yang masuk ke KASN. Dari jumlah tersebut, 385 ASN terbukti melanggar netralitas dan 264 di antaranya sudah dijatuhi sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK). Sementara pada kontestasi pilkada 2020 di 270 daerah, ada 2.034 ASN yang dilaporkan dan sebanyak 1.597 ASN terbukti melanggar netralitas.
“Ini sekali lagi bukan yang terkait dengan pemilu presiden tapi ini terkait pemilihan kepala daerah. Apakah benar sekarang ASN mendadak patuh?” tanyanya.
Arie kemudian mencontohkan, pada pilkada 2020, beberapa instansi pemerintah memiliki laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN terbanyak, seperti Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dan Kabupaten Sumba Timur. Namun, pada 2024 ini belum ada satu pun laporan pengaduan pelanggaran netralitas di tiga instansi pemerintah tersebut yang masuk ke KASN.
“Kami menduga ini ada sesuatu, bukan tiba-tiba ASN mendadak patuh,” tegas Arie.
Hal senada disampaikan oleh Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Ghaliya Putri Sjafrina.
Menurutnya, jumlah pelaporan pengaduan pelanggaran netralitas ASN yang minim diindikasikan karena melemahnya ekosistem pengawasan saat ini.
“KASN dihapus; Bawaslu menerima laporan saja tidak. Hal ini tidak hanya dialami ICW dan koalisi ICW, NGO lainnya melaporkan mereka menghadapi hal yang sama, laporan mereka tidak bisa diregistrasi dengan alasan tidak memenuhi syarat materil dan lain sebagainya. Jadi saya tidak heran sebetulnya kemudian angkanya jadi nol tadi. Itu bukan karena tidak ada kecurangan atau tidak ada ASN yang berlaku tidak netral,” ungkap Almas.
Dari kondisi kelembagaan pengawasan yang kian melemah, Almas juga menggarisbawahi bahwa pengawasan netralitas tidak hanya tertuju kepada ASN sebagai pelaku utama. Akan tetapi, juga perlu dilakukan pengawasan kepada program dan anggaran yang rentan dipolitisasi. “Ketika pilkada, jangan hanya melihat ini ASN-nya netral atau tidak, tapi juga juga bansos seperti apa, dana hibah, dan juga pengadaan barang dan jasa,” sebutnya.
Di samping itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman, menyebut terdapat “peran” penjabat (pj.) kepala daerah yang berupaya melakukan penetrasi politik untuk kepentingan tertentu. Alhasil, ASN menjadi rentan dimobilisasi untuk mendukung calon tertentu.
Ke depan Herman berharap pelibatan koalisi masyarakat sipil yang lebih menyeluruh.
“Saat ini, kami publik hanya terlibat dalam konsultasi dan sosialisasi, tetapi tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan, misalnya terkait peraturan KPU atau Bawaslu yang terkait dengan pemilu dan pilkada.”
“Padahal kalau benar-benar akuntabel dan partisipatif, masyarakat sipil benar-benar dilibatkan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Managing Partner Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan ada beberapa motif kecurangan yang dapat terjadi pada pilkada, yakni memenangkan perolehan suara; tidak ada saksi; tidak ada bukti; dan tidak diubah hasilnya. Meski begitu, ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan kecurangan apakah pemilihan umum dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif atau tidak.
“Itu buktikan saja, PNS-PNS itu dipaksa atau tidak dalam politik. Itu buktikan saja, memaksa PNS untuk membela salah satu calon atau tidak. Dengan begitu, format terstrukturnya terbukti,” beber Feri. (NQA/HumasKASN)
Red Irwan