Morowali Utara, Mediapatriot.co.id – “Pombio Taku Ulu Mosa’amu Sea?” atau yang berarti “Buat apa batok kepala jelekmu itu ?”, merupakan salah satu semboyan penuh semangat dari Suku Ulu Uwoi saat berperang dan setelah melakukan mengayau.
Tradisi mengayau (dalam bahasa Mori disebut Monga’e) adalah kegiatan berburu kepala musuh untuk kemudian dipenggal. Kepala musuh yang berhasil dibawa pulang menjadi bukti keberanian dan pengakuan atas kehebatan seorang pemburu, yang kemudian akan dianugerahi gelar Pongkiari. Gelar ini dapat diterjemahkan secara bebas sebagai Panglima Perang atau Pendekar.
Seperti namanya, Ulu Uwoi, yang secara harfiah berarti “Kepala Air,” suku ini bermukim di wilayah pegunungan bagian selatan Kerajaan Mori. Lokasi tersebut merupakan hulu dari beberapa sungai besar, seperti Sungai Tambalako dan Sokita, yang mengaliri wilayah Kerajaan Mori. Selain lokasinya yang strategis, keberanian dan kepiawaian Suku Ulu Uwoi dalam peperangan menjadikan mereka terkenal. Salah satu strategi perang andalan mereka adalah kemampuan menyergap musuh di basis pertahanan, sehingga mereka dijuluki “pasukan DAHU RAKO” atau “Anjing Penyergap”.
Keberanian mereka didukung oleh jumlah pemberani yang signifikan. Pada tahun 1902, berdasarkan catatan harian F.R. Maengkom berjudul “Van Tojo naar Mori”, tercatat bahwa Suku Ulu Uwoi memiliki 670 pemberani yang tersebar di delapan kampung. Mereka adalah:
1. Lalemo (200 orang),
2. Wawontando (100 orang),
3. Pu’utando (100 orang),
4. Kadupore (10 orang),
5. Eloli (50 orang),
6. Kurui (100 orang),
7. Tambalako (50 orang), dan
8. Kumapa (50 orang).
Jumlah ini menjadikan Suku Ulu Uwoi sebagai kelompok pemberani terbesar kedua di wilayah Kerajaan Mori pada masa itu.
Setelah Kerajaan Mori takluk kepada Belanda, otoritas kolonial memerintahkan masyarakat yang bermukim di pegunungan untuk turun ke dataran rendah yang lebih mudah dijangkau. Akibatnya, Suku Ulu Uwoi membangun pemukiman baru di wilayah tenggara Lembo.
Dalam bukunya “De Morriers van Tinompo” (1924), J. Kruyt mencatat bahwa Suku Ulu Uwoi kemudian membentuk tiga perkampungan baru, yaitu Dolupo, Balungkere, dan Undoro. Namun, beberapa waktu kemudian, kampung Balungkere tidak diketahui keberadaannya, sehingga hanya tersisa dua kampung kembar, yaitu Undoro dan Dolupo.
Saat masa pergolakan DI/TII, penduduk kampung Undoro dan Dolupo merasa terancam, sehingga mereka bermigrasi ke arah utara. Mereka kemudian membangun perkampungan baru di sebelah Desa Tingkeao yang kini dikenal sebagai Desa Mora. Setelah situasi membaik pada sekitar tahun 1967, sebagian penduduk yang berasal dari Undoro kembali ke wilayah asal mereka dan mendirikan kampung baru di tepian Sungai Sokita, yang kini dikenal sebagai Desa Po’ona. Sementara itu, lokasi bekas kampung Dolupo kemudian dibangun sebuah pemukiman PIR dan berkembang menjadi Desa Transmigrasi yang dikenal sebagai Dolupo Karya.
Pada tahun 1983, pemerintah membangun Pemukiman Resettlement di antara Desa Po’ona dan Dolupo Karya. Pemukiman ini kemudian berkembang menjadi Desa Mandula. Oleh karena berdiri di wilayah Suku Ulu Uwoi, penduduk desa Mandula kemudian bersepakat untuk menggunakan Hukum Adat To Ulu Uwoi,
Hingga kini, Adat istiadat Suku Ulu Uwoi masih hidup dan dilestarikan di empat desa, yaitu Po’ona, Dolupo Karya, Mora dan Mandula.