Ketika Wartawan Tak Diizinkan Memimpin Medianya Sendiri

Di banyak daerah di Indonesia, lahir media-media yang dibangun dari semangat para wartawan independen. Mereka bekerja tanpa sokongan dana besar, tanpa kantor mewah, bahkan tanpa tim lengkap β€” tetapi mereka menulis, meliput, mengedit, dan menyampaikan informasi kepada publik dengan idealisme yang kuat.

Saat diminta mendirikan media berbadan hukum, mereka memenuhi. Saat diminta menyusun struktur redaksi dan mendaftarkan medianya ke Dewan Pers, mereka ikuti. Namun ironisnya, ketika semua persyaratan itu telah dipenuhi, mereka justru tak diizinkan menjadi penanggung jawab redaksi di media yang mereka dirikan sendiri.

πŸ“² Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID melalui WhatsApp Channel resmi kami:
https://whatsapp.com/channel/0029VbA7Ah9HgZWhj19BMY0X

Alasannya? Karena mereka tercatat sebagai direktur atau pemilik dalam akta perusahaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, berlaku ketentuan bahwa direktur, pemilik, atau unsur manajemen perusahaan media tidak diperkenankan mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) jenjang Madya dan Utama. Padahal, tidak sedikit dari mereka yang juga menjalankan fungsi jurnalistik harian: menulis berita, turun ke lapangan, dan menjadi penggerak utama operasional redaksional.

Akibat aturan ini, banyak media lokal yang terhambat proses verifikasinya. Mereka tidak memiliki penanggung jawab isi redaksi yang ber-UKW Utama, dan sekaligus tidak diizinkan ikut UKW karena status manajerial. Terjadi semacam lingkaran tertutup yang meminggirkan para wartawan perintis dari sistem pengakuan yang mestinya inklusif.

Padahal kenyataan di lapangan jauh dari hitam-putih administratif. Di daerah, satu orang sering kali memegang banyak peran: sebagai pemimpin redaksi, direktur, penulis, editor, bahkan desainer website. Memisahkan peran redaksional dan manajerial secara kaku justru menyulitkan mereka yang membangun media secara mandiri.

Situasi ini tidak hanya menyulitkan mereka yang sudah bekerja keras membangun media profesional, tetapi juga menciptakan kesenjangan akses terhadap sertifikasi jurnalistik. Terlebih, pelaksanaan UKW masih terpusat di kota-kota besar, dengan biaya yang tidak murah.

Perlu dipahami bahwa UKW seharusnya bukan sekadar sarana penyaringan administratif, melainkan alat pemberdayaan wartawan agar semakin kompeten dan berdaya secara etik. Jika wartawan aktif yang mendirikan medianya sendiri dan telah memenuhi seluruh syarat hukum tidak diizinkan mengikuti UKW Madya/Utama, maka semangat pemberdayaan itu justru tereduksi.

Sebagai solusi, Dewan Pers dan lembaga penyelenggara UKW dapat mempertimbangkan:

  • Dibukanya mekanisme verifikasi tambahan bagi wartawan yang juga menjabat sebagai direktur/pemilik, dengan pembuktian aktivitas jurnalistik aktif (misalnya arsip berita, surat tugas, atau rekam jejak peliputan).
  • Pembuatan jalur khusus UKW untuk wartawan-pendiri media yang aktif secara redaksional.
  • Penyederhanaan dan pemerataan pelaksanaan UKW agar wartawan di luar kota besar bisa mengaksesnya dengan mudah.

Pers nasional membutuhkan tidak hanya media besar yang mapan, tetapi juga media kecil yang tumbuh dengan semangat lokal dan keberanian menyuarakan fakta. Para wartawan yang mendirikan media sendiri adalah fondasi penting dari ekosistem itu. Mereka bukan musuh profesionalisme β€” mereka adalah buktinya.

Memberi ruang bagi mereka untuk berkembang bukan berarti menurunkan standar, melainkan menaikkan nilai keadilan dalam sistem pers Indonesia.(Redaks)



Wartawan di lapangan dibekali Kode Sandi untuk membuka DAFTAR WARTAWAN Dibawah ini:DAFTAR WARTAWAN>>>

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar