NOVEL BAB 3: Ibu yang Mendidik dalam Diaml

Oleh: Tim Redaksi

📲 Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID melalui WhatsApp Channel resmi kami:
https://whatsapp.com/channel/0029VbA7Ah9HgZWhj19BMY0X

Setiap sosok pejuang pasti memiliki tempat asal yang melahirkan keteguhan hatinya. Dalam hidup saya, keteguhan itu berasal dari seorang perempuan yang tidak pernah tampil di panggung publik, tetapi justru menjadi panggung bagi perjalanan hidup saya: ibu saya.

“Ibu saya tidak pernah bicara banyak, tetapi setiap perbuatannya adalah pengajaran.”

Nama beliau adalah Resni, tapi kami memanggilnya Ibu Res. Seorang perempuan desa yang membesarkan anak-anaknya dengan prinsip, bukan dengan keluhan. Ia tak memiliki gelar pendidikan tinggi, tapi kami semua tahu: keteguhannya tak ternilai oleh ijazah.

Ibu tidak mengajar di sekolah, tetapi ia guru sejati dalam rumah. Ia mendidik dengan kelembutan yang sesekali berubah menjadi ketegasan, bahkan kemarahan yang menampar kesadaran kami. Jika saya kini dikenal sebagai orang yang kuat menghadapi ujian, saya tahu dari mana kekuatan itu diturunkan. Bukan dari seminar motivasi, tapi dari rumah kami yang atapnya bocor dan dapurnya penuh asap.

Belajar Lewat Teladan, Bukan Sekadar Kata

Di rumah, Ibu jarang menyuruh secara langsung. Tapi ia menunjukkan bagaimana cara hidup. Pagi-pagi sekali ia sudah di dapur, menanak nasi dan menyiapkan lauk seadaanya. Saat anak-anak lain sarapan dengan telur dadar, kami sudah terbiasa dengan nasi dan sambal garam. Tapi tak satu pun dari kami merasa kekurangan.

Ibu bekerja keras. Kadang membantu tetangga menyiangi rumput, kadang menjadi buruh upah tanam. Kalau perlu, ia ikut angkat-angkat hasil panen jagung ke pasar. Tapi di setiap kesibukan itu, ia selalu menyisakan waktu untuk tahu kabar anak-anaknya. Ia tidak ingin ada satu pun yang keluar sekolah hanya karena tidak ada biaya.

“Ibu rela menahan lapar agar kami bisa membayar seragam sekolah.”

Ketegasan yang Membentuk Harga Diri

Saya ingat betul saat saya hendak mendaftar sekolah dan uang kami benar-benar habis. Saya mendengar Ibu bilang pada tetangga, “Kalau harus pinjam, saya akan pinjam. Tapi jangan biarkan anak saya berhenti sekolah.” Hari itu ia pinjam uang ke tetangga sebelah, bukan bank keliling. Ibu tahu, utang di bank keliling bisa membuat hidup seperti dalam jerat.

Namun, saya juga tahu: beliau pernah suatu masa terpaksa meminjam ke bank keliling, atau bahasa Ibu menyebutnya, “je sana kemari.” Bukan karena malas bekerja, tapi karena tak ada jalan lain agar anak-anaknya bisa terus sekolah. Tapi itu bukan gaya hidup, bukan rutinitas. Sekali, dua kali, dan selesai. Setelah itu, beliau bekerja lebih keras agar tidak harus mengulangnya lagi.

“Ibu saya mungkin pernah berutang, tapi beliau tidak menjadikan utang sebagai kebiasaan.”

Saya pernah ditampar karena memaki teman di sekolah. Pulang ke rumah, Ibu tak tanya penjelasan. Ia langsung mendidik saya dengan tangan, tapi tangan yang mengandung kasih sayang. Setelah itu baru beliau bicara, “Kalau mulutmu kotor, sekolah setinggi langit pun tak berguna.” Kalimat itu melekat dalam hati saya sampai hari ini.

Kelembutan Seorang Ibu di Tengah Keterbatasan

Terkadang, saat kami tertidur di malam hari, Ibu duduk di pojok rumah, menjahit atau menambal baju kami. Tidak ada keluhan, tidak ada keluh kesah soal lelah. Pernah suatu malam saya pura-pura tidur dan melihat ia menangis dalam diam. Ia berpaling ke dinding, menyeka air matanya dengan ujung jilbab.

Saya baru tahu keesokan paginya: uang belanja habis sebelum waktunya. Tapi yang membuat saya makin mencintai beliau adalah kalimat yang ia bisikkan saat membangunkan kami: “Bangun, Nak. Sekolah itu harga diri kita. Kalau miskin jangan bodoh.” Sederhana, tapi kuat seperti tiang rumah yang menopang kami dari runtuh.

“Bangun, Nak. Sekolah itu harga diri kita. Kalau miskin jangan bodoh.”

Ibu: Akar dari Segala Langkahku

Kini, saat saya telah dewasa dan mulai dikenal sebagai seorang wartawan, aktor figuran, bahkan penulis, semua pencapaian itu tak lepas dari keteladanan Ibu. Saya tidak punya mentor hebat di awal karier, tapi saya punya Ibu sebagai pondasi. Saya tidak lahir dari keluarga konglomerat, tapi saya lahir dari rahim seorang perempuan yang tidak pernah menyerah.

Bahkan ketika saya mendapat peran penting pertama dalam film FTV, dan menerima honor yang cukup besar, saya langsung pulang kampung. Saya tidak menghambur-hamburkan uang, tapi langsung memberi pada Ibu. Apa katanya? “Terima kasih, tapi jangan lupa simpan juga untuk hari susah.” Ibu tetap menjadi guru dalam keheningan, walau kini rambutnya telah memutih dan langkahnya mulai goyah.


Catatan Penulis:

Tulisan ini adalah bentuk penghormatan pada sosok ibu yang tidak hanya melahirkan kita, tetapi juga membesarkan dengan cinta dan keteladanan. Dalam hidup saya, Ibu Res adalah pahlawan sejati. Meskipun pernah meminjam uang ke sana kemari dalam masa sulit, itu bukan karena beliau lemah, melainkan karena begitu kuatnya cinta beliau pada pendidikan anak-anaknya. Kami tahu, semua perjuangan beliau lahir dari harapan agar anak-anaknya tidak hidup dalam lingkaran kemiskinan yang sama.

Kisah ini ditulis bukan untuk mengumbar kesedihan, tetapi untuk memberi inspirasi. Bahwa di balik sosok anak yang kini dikenal banyak orang, ada ibu yang mungkin tak dikenal siapa-siapa, tapi menjadi segalanya bagi keluarganya.

– Redaksi



Wartawan di lapangan dibekali Kode Sandi untuk membuka DAFTAR WARTAWAN Dibawah ini:DAFTAR WARTAWAN>>>

Komentar