Perspektif Hukum, Politik, dan Etika Demokrasi: Refleksi Atas Wacana Pemakzulan Wakil Presiden

Mediapatriot.co.id Jakarta 6 Juli 2025

Berdasarkan pasal 7A UUD NRI 1945 secara tegas menyebutkan dasar hukum untuk pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya. Adapun bunyinya:

📲 Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID melalui WhatsApp Channel resmi kami:
https://whatsapp.com/channel/0029VbA7Ah9HgZWhj19BMY0X

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden,” Dr. Muhammad Bayu Hermawan, S.H., M.H., Ketua GibranKu DKI Jakarta dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (6/7/2025)

Lebih lanjut Bayu mengatakan, berdasarkan pasal tersebut, secara teoritis dan yuridis, siapa pun yang menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden – termasuk Mas Wapres Gibran Rakabuming Raka – dapat diberhentikan jika memenuhi unsur-unsur pelanggaran yang disebutkan. Di antaranya, yaitu:
Pertama, Melakukan pelanggaran hukum berat, seperti: pengkhianatan terhadap negara, Korupsi dan tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela.

Kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wakil Presiden

“Namun, perlu ditegaskan bahwa langkah permakzulan bukan sekadar isu legalistik, melainkan juga politik. Realitas saat ini menunjukkan tidak adanya bukti hukum yang kuat maupun proses hukum yang berjalan terhadap Gibran. Maka, wacana pemakzulan dalam kondisi saat ini lebih bernuansa politis daripada konstitusional,” ujarnya.

Lebih dari itu kata Bayu, sejarah demokrasi global memperlihatkan bahwa pemakzulan Wakil Presiden adalah hal yang sangat langka. Yang lebih sering terjadi adalah pengunduran diri, reshuffle politik, atau pergantian karena Presiden dimakzulkan. Dalam konteks Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden adalah satu paket pilihan rakyat dalam sistem pemilu langsung.

“Maka, pemakzulan terhadap Wakil Presiden tanpa dasar hukum yang kuat bukan hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi pasangan yang dipilih rakyat secara sah,” ucapnya.

Kita juga perlu mempertanyakan, apakah dorongan terhadap wacana ini murni demi kepentingan konstitusional dan bangsa? Atau ada ambisi kelompok tertentu yang tidak mampu menerima perubahan arah politik, terutama ketika anak muda mulai diberi ruang untuk tampil?

“Saya menaruh hormat yang tinggi kepada para purnawirawan TNI sebagai tokoh yang telah menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa. Namun, keterlibatan dalam wacana yang cenderung merusak legitimasi demokrasi justru bisa menodai citra TNI sebagai institusi yang netral dan profesional,” katanya.

Apakah salah jika anak muda diberi ruang? Bukankah ini justru menjadi momentum bahwa demokrasi Indonesia semakin matang dan inklusif? Banyak negara maju telah memberi panggung pada generasi muda untuk menentukan arah kebijakan nasional. Jika kita menutup peluang itu hanya karena ego dan ketakutan terhadap perubahan, lalu kapan bangsa ini benar-benar bergerak maju?

Kalau memang ada pelanggaran konstitusional, mari buktikan dengan jalur hukum. Tapi jika ini hanyalah permainan politik dengan motif kekuasaan semata, maka sudah saatnya publik bersuara dan tidak diam.

“Dalam demokrasi, semua boleh berbeda pandangan. Tapi mari tetap menjunjung tinggi etika, konstitusi, dan akal sehat,” ujarnya.

Menutup, Bayu mengemukakan “Kebenaran akan menemukan jalannya. Sejarah akan mencatat siapa yang menjaga bangsa, dan siapa yang hanya bermain catur demi kepentingan sendiri.”

 

Kontributor : ( Indra Permana )



Wartawan di lapangan dibekali Kode Sandi untuk membuka DAFTAR WARTAWAN Dibawah ini:DAFTAR WARTAWAN>>>

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar