Oleh: Arie Widowati
Coba tutup mata sejenak, tarik napas pelan-pelan. Bayangkan udara yang masuk lewat hidung adalah sesuatu yang murni, segar, dan menyejukkan. Terdengar indah, bukan? Tapi di dunia nyata, udara yang kita hirup tidak hanya berisi oksigen. Ada “penumpang gelap” yang ikut terbawa masuk, ukuran mereka kecil sekali, tak kasat mata, tapi cukup licik untuk menyelinap jauh ke dalam tubuh kita.
Salah satu penumpang gelap ini bernama PM2.5. Namanya terdengar seperti kode rahasia, tapi sebenarnya itu singkatan dari Particulate Matter yang diameternya kurang dari 2,5 mikrometer. Untuk membayangkannya, sehelai rambut manusia itu kira-kira 30 kali lebih tebal dari partikel ini. Bayangkan betapa kecilnya.
Karena ukurannya super mini, PM2.5 bisa melewati semua “pagar” pertahanan alami tubuh. Ia menyusup ke paru-paru, lalu ikut mengalir bersama darah. Lebih buruknya lagi, PM2.5 sering membawa “bagasi” yang berbahaya, logam berat seperti timbal, arsen, kromium, jelaga hitam dari pembakaran, atau bahan kimia dari asap kendaraan dan pabrik. Semuanya punya reputasi buruk: bisa memicu gangguan pernapasan, penyakit jantung, hingga kanker.
Polusi di Kawasan Padat Aktivitas
Di daerah yang aktivitas industrinya sibuk dan transportasinya padat, kualitas udara biasanya kalah bersih dibanding daerah yang lebih tenang. Penelitian yang memantau PM2.5 selama musim hujan dan kemarau menemukan hal yang cukup bikin kening berkerut.
Saat musim kemarau, konsentrasi PM2.5 meroket, jauh melampaui batas aman harian versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 15 µg/m³. Musim hujan memang menurunkannya, tapi tetap saja angkanya di atas standar sehat.
Hujan itu ibarat “pembersih udara alami”, butirannya menangkap partikel debu lalu menjatuhkannya ke tanah. Namun, ternyata tidak semua polutan mau ikut turun. Unsur seperti black carbon (jelaga) dan sulfur masih bertahan, melayang-layang di udara, siap dihirup siapa pun yang lewat.
Hasil analisis laboratorium menemukan bahwa sulfur adalah salah satu unsur paling dominan dalam PM2.5. Bentuk yang sering ditemui adalah amonium sulfat, yang biasanya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara dan solar berkadar sulfur tinggi.
Lalu ada black carbon, partikel hitam pekat hasil pembakaran tidak sempurna, terutama dari mesin diesel. Selain memperburuk kualitas udara, partikel ini juga “juara” dalam menyerap panas matahari, mempercepat pemanasan global.
Logam berat seperti timbal (Pb) dan seng (Zn) juga ditemukan dalam jumlah yang tidak bisa diabaikan. Timbal dikenal berbahaya bagi perkembangan otak anak, sementara seng dalam konsentrasi berlebih bisa mengganggu kesehatan pernapasan. Meski proporsinya kecil dalam massa PM2.5, efeknya bisa besar pada kesehatan manusia.
Teknologi Nuklir, Si Detektif Udara
Bagaimana cara tahu isi “perut” PM2.5? Di sinilah teknologi nuklir menjadi andalan. Dengan metode Particle-Induced X-ray Emission (PIXE) dan X-Ray Fluorescence (XRF), peneliti bisa “membaca” partikel udara sampai ke tingkat atom.
Bayangkan Anda punya puzzle berukuran mikro. PIXE dan XRF adalah kaca pembesar super canggih yang tidak hanya membantu melihat potongan puzzle, tapi juga tahu dari mana potongan itu berasal.
Prosesnya kira-kira begini, partikel yang sudah dikumpulkan di filter ditembak dengan sinar ion atau sinar-X. Setiap unsur akan memancarkan sinyal khas, semacam sidik jari kimia yang memberi tahu peneliti “Aku adalah timbal” atau “Aku berasal dari sulfur”.
Keunggulan metode ini adalah non-destruktif, sampel tetap utuh, sehingga bisa diperiksa lagi jika diperlukan. Lebih menarik lagi, pola kimia yang terbaca bisa menunjukkan sumber polusi, apakah berasal dari asap kendaraan, cerobong pabrik, pembakaran sampah, atau bahkan debu tanah.
Hasil pemantauan berbasis teknologi nuklir sudah berkali-kali membantu mengungkap “biang keladi” polusi. Contohnya, kadar timbal yang melonjak di suatu wilayah ternyata selaras dengan aktivitas industri tertentu. Atau tingginya sulfur yang sesuai dengan rute distribusi bahan bakar fosil.
Data ini tidak berhenti di meja laboratorium. Temuan-temuan tersebut mendorong pemerintah untuk memperbarui regulasi, menurunkan batas ambang polutan, bahkan menindak tegas pelanggar aturan.
Langkah ke depan adalah memperluas jangkauan pemantauan ke seluruh wilayah strategis. Dengan begitu, kebijakan pengendalian polusi bisa lebih tepat sasaran, dan dampaknya langsung terasa di udara yang kita hirup.
Kenapa Kita Harus Ikut Peduli
Polusi udara bukan hanya masalah pemerintah atau pabrik besar. Kita semua ikut berperan—sadar atau tidak. WHO memperkirakan polusi udara menjadi penyebab jutaan kematian dini setiap tahunnya di seluruh dunia.
Di tanah air, penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih tinggi, terutama pada anak-anak. PM2.5 adalah salah satu biang keladinya. Yang membuatnya berbahaya adalah sifatnya yang diam-diam: efeknya tidak langsung terasa hari ini, tetapi perlahan menumpuk dan merusak kesehatan dalam jangka panjang.
Musim hujan memang membantu menurunkan kadar polusi, tapi bukan berarti udara langsung aman. Beberapa polutan tetap bertahan di udara, meski hujan deras.
Sebaliknya, musim kemarau membawa udara kering dan minim hujan. Polutan jadi lebih betah di udara, melayang-layang lebih lama, dan konsentrasinya meningkat. Karena itu, pemantauan kualitas udara harus dilakukan sepanjang tahun agar kita tahu kapan polusi mencapai titik rawan dan bisa segera mengambil tindakan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Menghadapi polusi udara butuh kerja sama banyak pihak:
1. Pemantauan Berbasis Sains
Menggunakan teknologi seperti PIXE dan XRF untuk mengetahui jenis dan sumber polutan.
2. Kebijakan yang Tegas
Pemerintah menetapkan aturan berbasis data ilmiah untuk mengatur emisi industri, kualitas bahan bakar, dan pembakaran terbuka.
3. Peran Industri
Pelaku industri memasang teknologi pengendali polusi seperti scrubber dan filter canggih di fasilitas mereka.
4. Kesadaran Masyarakat
Mengurangi pembakaran sampah, menggunakan transportasi umum, beralih ke kendaraan rendah emisi, dan mendukung energi bersih.
Menuju Udara Bersih
Udara bersih bukan hanya impian. Dengan teknologi yang tepat, kebijakan yang tegas, dan partisipasi semua pihak, udara yang kita hirup bisa menjadi jauh lebih sehat.
Negeri ini punya peneliti hebat, laboratorium yang mumpuni, dan dukungan dari berbagai pihak. Tinggal memastikan semua ini berjalan konsisten. Bayangkan suatu hari nanti, kita keluar rumah dan benar-benar bisa menghirup udara yang segar, tanpa rasa waswas.
Anak-anak bermain tanpa batuk-batuk, orang dewasa beraktivitas tanpa takut terkena penyakit akibat polusi. Semua itu bukan keajaiban, tapi hasil dari kerja keras sains, kebijakan, dan kesadaran bersama.
Udara adalah hak semua makhluk hidup. Kita memang tidak bisa memilih udara yang masuk ke paru-paru setiap hari, tapi kita bisa memilih untuk menjaga kualitasnya. Dan ternyata, teknologi nuklir yang sering disalahpahami, justru menjadi pahlawan diam-diam yang membantu kita menjaga setiap tarikan napas tetap berharga.
Narasumber:
Prof. Dr. Muhayatun, MT dkk
Peneliti Ahli Utama ORTN BRIN
Komentar