Mediapatriot.co.id Jakarta 16 Agustus 2026
Sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI)
secara kompak memutuskan untuk “Menolak Permohonan Para Pemohon untuk
seluruhnya,” Permohonan Uji Materiil Pasal 4A Ayat (2) Huruf b, Pasal 4A Ayat (3) Huruf a,
g, dan j, serta Pasal 7 Ayat (1), (3), dan (4), mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU
No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada Nomor Perkara:
11/PUU-XXIII/2025, yang dimohonkan oleh Para Pemohon dari berbagai kalangan yakni
Penyandang Disabilitas, Perempuan Pengemudi Ojek Online, Mahasiswa, Perempuan
Nelayan, hingga Pelaku UMKM.
Terhadap Putusan itu, K
ami, Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak
(TAUD-SKP) menyatakan bahwa Putusan MK tersebut mengabaikan prinsip pajak yang
berkeadilan sehingga bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM dan
Demokrasi, serta Amanat UUD NRI 1945 yang menekankan pentingnya sistem pajak yang
berkeadilan. Kebijakan PPN di Indonesia padahal terkenal akan sifatnya yang dikenakan ke
semua level dan regresif, karena kurang memperhatikan kemampuan bayar di setiap desil
pendapatan.
Lebih lanjut atas Putusan MK tersebut, Kami berpandangan sebagai berikut:
Pertama,
Putusan MK pada Perkara: 11/PUU-XXIII/2025 justru semakin melegitimasi kebijakan PPN
yang tidak berkeadilan, khususnya bagi masyarakat yang termasuk kelompok ekonomi
lemah. Menurut data dari PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia sendiri termasuk salah
satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
Masyarakat miskin, melalui pasal-pasal tentang PPN yang ada dalam UU HPP, dipaksa
untuk membayar PPN dengan persentase yang lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan
kelompok orang super kaya atau Crazy Rich yang asetnya miliaran, bahkan triliunan.
Sebuah fakta ironis, yang mengakibatkan Putusan MK pada Perkara: 11/PUU-XXIII/2025 justru semakin melegitimasi kebijakan PPN
yang tidak berkeadilan, khususnya bagi masyarakat yang termasuk kelompok ekonomi
lemah. Menurut data dari PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia sendiri termasuk salah
satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
Masyarakat miskin, melalui pasal-pasal tentang PPN yang ada dalam UU HPP, dipaksa
untuk membayar PPN dengan persentase yang lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan
kelompok orang super kaya atau Crazy Rich yang asetnya miliaran, bahkan triliunan.
Sebuah fakta ironis, yang mengakibatkan semakin parahnya ketimpangan ekonomi, apabila
kebijakan PPN yang ada tidak kunjung diperbaiki.
Para Pemohon melalui Uji Materiil UU HPP yang diajukan, sebenarnya menaruh harapan
kepada Majelis Hakim MKRI untuk mengabulkan permohonan yang diajukan, sayangnya
putusan yang dikeluarkan justru semakin membenarkan kebijakan Presiden dan DPR-RI
atas PPN yang secara nyata bertentangan dengan jaminan hak atas ekonomi dan sosial.
Kedua,
Hakim MKRI yang seharusnya menjaga demokrasi dan mengawal Konstitusi malah
terjerumus dalam argumentasi dangkal dan kering yang bertentangan dengan prinsip
demokrasi dan Konstitusi itu sendiri. Pasal 23A UUD NRI 1945 secara tegas
mengamanatkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur
dengan undang-undang akan tetapi melalui putusan ini dilegitimasi pendelegasian
pengaturan tarif PPN kepada peraturan pemerintah, sebuah peraturan setingkat lebih
rendah dari undang-undang. Ironisnya, dalam pertimbangan hukumnya hakim MKRI
mengakui bahwa pembahasan tarif PPN seharusnya dilakukan bersama DPR dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional dan fiskal negara tapi tidak bernyali
memutuskan bahwa pengaturan tarif PPN melalui peraturan pemerintah membuka diskresi
subjektif Presiden yang secara langsung melanggar prinsip no tax without representation
dan mengikis peran legislatif dalam pengawasan pajak.
Ketiga,
Melalui putusan ini, Hakim MKRI secara efektif membuka peluang penerapan tarif PPN
sampai 15% tanpa dianggap telah melanggar Konstitusi. Tarif setinggi ini berpotensi
melumpuhkan perekonomian nasional dengan memperburuk situasi PHK, menekan daya
beli masyarakat, dan meningkatkan beban konsumsi rumah tangga miskin. Saksi-saksi yang
dihadirkan dalam persidangan memberikan contoh konkret realita yang saat ini terjadi,
seperti harga beras yang melonjak tinggi dari 10.000/liter menjadi 13.500/liter (naik 35%)
atau minyak goreng dari 14.000/liter menjadi 20.000/liter (naik 42,86%). Kenaikan
harga-harga kebutuhan pokok ini tidak hanya menekan kemampuan konsumsi masyarakat,
tetapi juga sudah mengurangi perputaran ekonomi. Alih-alih berpegang teguh pada amanat
konstitusi, hakim MKRI justru melegitimasi kebijakan yang beresiko mempersempit basis
pajak akibat turunnya konsumsi. Dampaknya, pendapatan negara menurun, ruang fiskal
menyempit, dan pelayanan publik semakin sulit dimaksimalkan, konsekuensi yang bertolak
belakang dengan cita-cita kesejahteraan sebagaimana yang dijamin Konstitusi.
n Diponegoro No. 74, Rt. 09, Rw.02, Pegangsaan, Kecamatan Menteng,
Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10320
Keempat,
Hakim MKRI tampak tidak bernyali memutuskan tarif PPN bertentangan dengan jaminan
standar hidup layak, peningkatan derajat kesehatan, pendidikan dan akses terhadap
kebutuhan pokok sebagaimana diamanatkan Konstitusi. Dalam pertimbangan hukumnya,
hakim MKRI mengakui adanya fasilitas “PPN tidak dikenakan” dan “PPN dibebaskan” yang
ditujukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun, bagi pelaku usaha kecil yang tidak
berstatus PKP, meski beban administratif tidak ada, kenyataannya harga kebutuhan pokok,
layanan kesehatan, pendidikan, dan transportasi tetap mengalami kenaikan signifikan di
lapangan. Sikap MKRI yang mengabaikan fakta ini menunjukkan ketidakpekaan terhadap
realitas sosial-ekonomi masyarakat dan menegaskan jarak antara putusan hukum dan
kehidupan sehari-hari rakyat.
Kelima,
Hakim MKRI dalam beberapa pertimbangan hukumnya mengakui bahwa penetapan tarif
PPN dibahas bersama DPR dan bahwa kebutuhan pokok publik termasuk layanan
kesehatan, pendidikan, transportasi harus mendapat pembebasan PPN. Namun seluruh
majelis menghindar untuk membatalkan rumusan pasal-pasal tentang PPN dalam UU HPP
yang jelas-jelas akan membuka ruang pelanggaran prinsip tersebut. Sikap hakim MKRI ini
tidak hanya kontradiktif, tetapi juga mencerminkan arogansi, mengabaikan beban ganda
yang ditanggung perempuan serta bias ablestik yang menihilkan kebutuhan dan hambatan
penyandang disabilitas. Hakim MKRI telah merobek prinsip keadilan pajak yang merupakan
pondasi negara hukum dan amanat konstitusi yang seharusnya mereka jaga.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, Kami mengambil sikap bahwa perjuangan Koalisi
Masyarakat Sipil tidak berhenti hanya dengan adanya Putusan MK tersebut. Selama
kebijakan perpajakan yang menindas rakyat banyak masih ada di Indonesia, maka Kami
akan menempuh seluruh langkah yang bisa diambil demi terwujudnya sistem pajak yang
berkeadilan untuk semua, bukan hanya menguntungkan segelintir golongan belaka.
Jakarta, 15 Agustus 2025
Narahubung :
1.Afif Abdul Qoyim ( +62 813-2004-9060)
Kontributor : ( Irwan Santhosa )














