Jakarta – Kegiatan “Doa Bersama Jaga Jakarta” yang digelar Forum Pemuda Peduli Jakarta (FPPJ) di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Kamis (4/9/2025), menghadirkan pesan mendalam tentang pentingnya menjaga etika, moral, dan empati dalam kehidupan berbangsa. Acara yang dihadiri oleh berbagai tokoh masyarakat, ulama, pejabat, dan komunitas lokal ini mendapat perhatian besar karena menyuarakan aspirasi warga di tengah dinamika kota metropolitan yang penuh tantangan.
Salah satu tokoh penting yang hadir adalah KH Lutfi Hakim, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Bidang Seni dan Budaya Islam. Dalam kesempatan tersebut, KH Lutfi menyampaikan pesan moral sekaligus kritik konstruktif bagi elit politik agar lebih mengedepankan empati dalam merespons persoalan masyarakat.
“Akumulasi kekecewaan masyarakat bisa memuncak menjadi perilaku yang sulit dikendalikan, apalagi jika elit politik tidak memiliki empati,” tegas KH Lutfi di hadapan peserta doa bersama.
Pernyataan ini menjadi sorotan utama, mengingat kondisi Jakarta yang kompleks dengan masalah kemiskinan, pengangguran, serta pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin marak.
Latar Belakang Acara “Doa Bersama Jaga Jakarta”
Forum Pemuda Peduli Jakarta (FPPJ) menggagas kegiatan ini sebagai wadah mempererat solidaritas sosial warga. Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya Indonesia kerap menghadapi dinamika sosial yang tidak sederhana. Ketegangan politik, disparitas ekonomi, hingga urbanisasi yang masif sering menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.
Acara ini juga menjadi ruang refleksi bersama. Tidak hanya doa, tetapi juga penyampaian pesan moral agar semua pihak, termasuk pemerintah, elit politik, tokoh masyarakat, hingga warga biasa, dapat mengedepankan sikap saling menghargai.
Kehadiran berbagai tokoh dari lintas elemen, seperti Kepala Kesbangpol DKI Jakarta Mat Sani, Ketua FPPJ Endriansah, komunitas lokal seperti Arwin (Kopi Manggarai) dan Budi (Poros Rawamangun), hingga figur publik seperti Cak Lontong dan Chiko Hakim, menandakan bahwa isu keamanan, ketertiban, dan persatuan adalah tanggung jawab bersama.
Empati Elit Politik Jadi Kunci
KH Lutfi Hakim menegaskan bahwa elit politik harus menunjukkan empati yang nyata terhadap rakyat. Menurutnya, banyak kerusuhan sosial berawal dari ketidakadilan ekonomi:
- Meningkatnya kemiskinan di kalangan masyarakat urban.
- Sulitnya lapangan pekerjaan di tengah persaingan yang ketat.
- Maraknya PHK akibat kondisi ekonomi yang tidak stabil.
- Tingginya beban hidup, termasuk pajak dan biaya kebutuhan pokok.
Tanpa empati, para elit politik cenderung hanya memberikan slogan damai tanpa menyentuh akar masalah. KH Lutfi mengingatkan bahwa masyarakat Jakarta membutuhkan solusi nyata, bukan sekadar retorika.
“Jangan sampai kita mengabaikan tuntutan masyarakat, dan hanya fokus pada pesan damai belaka. Damai itu penting, tapi perut rakyat lebih penting untuk diperhatikan,” katanya.
Insiden Afan, Simbol Empati Rakyat
Dalam sambutannya, KH Lutfi juga menyinggung insiden meninggalnya Afan, seorang pekerja yang wafat ketika sedang berjuang menafkahi keluarga. Ia menyebut Afan sebagai teladan pengabdian.
Peristiwa ini menjadi perhatian luas, bahkan Presiden turut menyampaikan penghormatan. Menurut KH Lutfi, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki empati yang tinggi terhadap sesama. Namun, empati itu juga harus ditunjukkan oleh para pemimpin agar kesenjangan sosial tidak semakin melebar.
Etika dan Moral dalam Menyampaikan Aspirasi
Selain menyoroti elit politik, KH Lutfi mengingatkan masyarakat agar tetap menjaga sopan santun dalam tutur kata dan tindakan ketika menyampaikan aspirasi. Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat harus dibarengi dengan etika.
“Kita memang tidak diwajibkan menjaga perasaan orang. Namun menjaga lisan dan perbuatan itu adalah etika,” ujar KH Lutfi.
Pesan ini penting di tengah maraknya fenomena ujaran kebencian, perpecahan, dan provokasi di media sosial. Dengan etika dan moral, aspirasi masyarakat akan lebih mudah diterima tanpa menimbulkan konflik baru.
Jaga Kampung FBR: Contoh Konkret Solidaritas Sosial
Sebagai Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), KH Lutfi juga menyinggung program “Jaga Kampung” yang telah berjalan di Jabodetabek. Program ini fokus pada:
- Penguatan keamanan lingkungan melalui partisipasi warga.
- Solidaritas sosial, saling membantu antarwarga tanpa membedakan latar belakang.
- Pendidikan moral dan etika, khususnya bagi generasi muda.
Program ini menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat bisa menjaga ketertiban tanpa harus selalu bergantung pada aparat. Sinergi antara warga, tokoh masyarakat, dan pemerintah lokal mampu menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis.
Kolaborasi Semua Pihak
Acara ini semakin menegaskan bahwa menjaga Jakarta tidak bisa dilakukan sendiri. Semua elemen harus berkolaborasi, mulai dari pemerintah, elit politik, tokoh agama, komunitas, hingga masyarakat sipil.
Kepala Kesbangpol DKI Jakarta, Mat Sani, menilai kegiatan ini sebagai upaya penting dalam membangun kesadaran kolektif. Sementara Endriansah selaku Ketua FPPJ menekankan bahwa pemuda harus menjadi motor penggerak perdamaian dan solidaritas sosial.
Hadir pula Cak Lontong, seorang komedian yang juga Komisaris PT Jaya Ancol. Kehadirannya memberikan warna tersendiri, karena humor bisa menjadi medium untuk menyampaikan pesan kebangsaan dengan ringan namun mengena.
Tantangan Jakarta ke Depan
Jakarta sebagai ibu kota masih menghadapi berbagai tantangan besar, di antaranya:
- Urbanisasi yang terus meningkat, menimbulkan persoalan pemukiman padat dan kumuh.
- Kesenjangan sosial yang semakin terlihat antara pusat kota dan pinggiran.
- Kemacetan dan polusi yang mempengaruhi kualitas hidup warga.
- Tingginya angka pengangguran dan pekerja informal tanpa jaminan sosial.
Di tengah tantangan tersebut, peran elit politik yang berempati dan berpihak pada rakyat sangatlah vital. Tanpa empati, kebijakan akan terasa jauh dari kebutuhan nyata masyarakat.
Pesan Moral Penutup
KH Lutfi menutup sambutannya dengan pesan moral yang kuat:
“Kita tidak pernah membenarkan pengrusakan. Penjarahan dan pengrusakan itu hanya hilir dari masalah kemiskinan, PHK, dan tingginya pajak. Mari kita selalu ingatkan pejabat jika salah, dengan cara yang santun, agar Allah ridho.”
Pesan ini menekankan keseimbangan antara keberanian menyampaikan aspirasi dan kesantunan dalam berperilaku. Empati bukan hanya tugas elit politik, tetapi juga kewajiban bersama seluruh masyarakat.
Kesimpulan
Kegiatan “Doa Bersama Jaga Jakarta” menjadi momentum penting untuk mengingatkan semua pihak tentang arti empati, etika, dan solidaritas. Kehadiran KH Lutfi Hakim dengan pesan moralnya mempertegas bahwa elit politik harus hadir dengan hati, bukan sekadar dengan kata-kata.
Empati adalah jembatan untuk mengatasi jurang antara rakyat dan penguasa. Tanpa empati, kebijakan hanyalah formalitas yang gagal menyentuh kebutuhan rakyat. Sebaliknya, dengan empati, Jakarta bisa menjadi kota yang tidak hanya besar secara fisik, tetapi juga agung dalam nilai kemanusiaan.(H.Inung)
Komentar