Penulis: Dias Nanda Risma | Mata Kuliah: Logika dan Pemikiran Kritis | Dosen Pengampu: Tania Ardiani Saleh, Dra., M.S. | Universitas Airlangga, 2025
“Ekonomi menjadi faktor tertinggi yang menyebabkan anak putus sekolah, sehingga ada kondisi anak harus bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Selain faktor ekonomi, faktor psikis seperti kecanduan game online juga menjadi penyebab anak putus sekolah,” tutur Aris Adi Leksono, Anggota KPAI sekaligus pengampu klaster pendidikan (27/05/2024).
Aris menambahkan bahwa bantuan pemerintah berupa Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) masih belum menyasar anak putus sekolah secara tepat.
Praktisi Pendidikan dari Dewan Pendiri Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes) Indonesia, Rizal Diansyah Soesanto ST CPLA, menyebut kegagalan ini sebagai cerminan lemahnya kebijakan pendidikan Surabaya. “Kalau pemerintah mau sederhana dan berpihak, sebenarnya masalah putus sekolah bisa diselesaikan lebih cepat. Jangan biarkan anak-anak miskin Surabaya kehilangan masa depannya hanya karena sistem yang tidak berpihak,” ujarnya.
Langkah Preventif dan Program Pendidikan
Dewan Pendidikan Jawa Timur mendorong daerah melakukan langkah-langkah pencegahan untuk menekan angka putus sekolah. Salah satunya melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) informal yang menyediakan program Kejar Paket. Namun, menurut Ali Yusa, anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur, program ini belum berjalan maksimal karena kurangnya dukungan data akurat dari tingkat kelurahan.
Kepala Dinas Pendidikan Surabaya, Yusuf Masruh, menegaskan rencana optimalisasi program Wajib Belajar (Wajar) dari 9 tahun menjadi 13 tahun. “Harapannya, angka partisipasi bisa mendekati 100 persen,” ujarnya.










