Disusun Oleh :
Gresyma Zuhriyah Cahyadewi (177251018)
Dosen Pengampu :
Tania Ardiani Saleh, Dra., M.S.
Mata Kuliah : Logika dan Pemikiran Kritis
Universitas Airlangga
Surabaya, 2025
MENGUJI URGENSI KENAIKAN GAJI DI TENGAH KINERJA LESU
Oleh: Gresyma Zuhriyah Cahyadewi
Pendahuluan
Sejak akhir Agustus 2025, jalanan di berbagai kota besar—Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, Makassar, hingga Bali—ramai oleh demonstrasi yang melibatkan ribuan orang dari beragam latar belakang: mahasiswa, pengemudi ojek online, buruh, hingga warga biasa. Gelombang protes ini dipicu oleh isu tunjangan fantastis yang diterima anggota DPR, terutama tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan, di tengah kondisi inflasi dan ketimpangan ekonomi masyarakat.
Ketika seorang driver ojek online tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat aksi berlangsung, amarah publik meningkat. Gedung parlemen dan kantor polisi dibakar, rumah pejabat dirusak, hingga menimbulkan korban jiwa belasan orang serta ratusan luka-luka. Presiden Prabowo akhirnya turun tangan dengan mencabut tunjangan tersebut, membatalkan perjalanan luar negeri DPR, dan memerintahkan investigasi atas insiden kematian demonstran. Meski begitu, pengerahan aparat keamanan untuk menekan kerusuhan juga menuai sorotan.
Di balik rangkaian kejadian itu, terlihat jelas bahwa protes bukan semata soal anggaran, melainkan ekspresi kekecewaan mendalam terhadap kinerja DPR yang dianggap jauh dari harapan rakyat.
Pertanyaan mengenai urgensi kenaikan gaji DPR makin relevan jika dikaitkan dengan kualitas kerja mereka. Misalnya, masih ada banyak masalah dalam hal subsidi energi. Hampir 79% penggunaan Pertalite tidak sesuai tujuan, dan kelompok masyarakat terkaya justru menikmati sekitar 40% subsidi. Kondisi serupa terjadi pada LPG 3 kg, di mana 67% konsumennya bukan dari kelompok yang seharusnya menerima. Menurut kajian CORE Indonesia, kebocoran subsidi ini bisa membebani APBN hingga Rp90 triliun.
Lalu soal pangan, ketika harga beras melonjak meski cadangan nasional melimpah, DPR hanya sibuk berdebat tanpa memberi jalan keluar konkret. Tidak ada dorongan serius untuk memperbaiki HET, mempercepat operasi pasar, atau membenahi distribusi. Program cetak sawah pun minim hasil, lebih banyak menghabiskan anggaran. Dengan dua catatan penting ini—subsidi yang bocor dan krisis pangan yang lamban ditangani—keinginan menaikkan gaji wakil rakyat terasa janggal, bahkan melukai akal sehat publik.
Pembahasan Argumen
1. Subsidi Energi yang Salah Sasaran
Subsidi energi, terutama BBM dan listrik, dirancang sebagai bantalan sosial agar kelompok miskin tidak terlalu terbebani gejolak harga. Namun, data resmi menunjukkan masalah klasik: salah sasaran. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (2022) mengakui bahwa lebih dari 70% subsidi BBM dinikmati kelompok mampu, khususnya pemilik kendaraan pribadi.
Temuan lembaga internasional pun sejalan. Bank Dunia (2022) dan ESMAP (2023) menyebut subsidi energi di Indonesia bersifat regresif: rumah tangga kaya justru memperoleh manfaat lebih besar. Bahkan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA sebagian bukan keluarga miskin, ada yang memiliki sambungan ganda (IISD, 2023).
Dampaknya ganda:
- Membebani APBN hingga ratusan triliun.
- Mempersempit ruang fiskal untuk sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Publik wajar mempertanyakan, apakah tepat jika lembaga yang seharusnya mengawasi justru menuntut kenaikan gaji sementara pengawasan terhadap subsidi belum menunjukkan hasil nyata.
2. Krisis Pangan dan Harga Beras
Data BPS (Agustus 2025) mencatat harga beras di tingkat penggilingan naik 1,87% (month-to-month) dan 6,15% (year-on-year). Harga grosir mencapai Rp14.292/kg (naik 0,64%), sementara eceran menembus Rp15.393/kg (naik 0,73%). Di beberapa daerah, harga bahkan tembus Rp60.000/kg.
Meski stok nasional mencukupi, harga tetap tinggi, menandakan masalah distribusi dan tata kelola. Rapat kerja DPR bersama Bulog, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pangan Nasional tidak memberi solusi konkret. Kritik publik pun menguat: mengapa stok melimpah tetapi harga tetap tinggi? Mengapa intervensi Bulog dibatasi?
Akibatnya, rumah tangga miskin semakin rentan. Inflasi beras memicu kenaikan harga bahan pokok lain, melemahkan daya beli, dan menggerus kepercayaan publik. Dalam situasi seperti ini, wacana kenaikan gaji DPR terasa tidak produktif dan menambah jarak dengan rakyat.
3. Kompensasi dan Kinerja
Secara teoritis, kompensasi yang layak penting untuk menarik talenta dan menjaga reputasi lembaga. Namun, kebutuhan kenaikan gaji harus didukung bukti kinerja:
- Penurunan signifikan kebocoran subsidi.
- Laporan pengawasan jelas.
- Respons krisis pangan yang membaik, termasuk distribusi CBP efektif, harga beras stabil, dan kelangkaan menurun.
Selama dua masalah utama—subsidi dan krisis pangan—belum membaik, dorongan kenaikan gaji justru berisiko menghilangkan kepercayaan publik.
Penutup
1. Kesimpulan
Gelombang demonstrasi sejak Agustus 2025 menunjukkan isu kenaikan gaji DPR bukan sekadar urusan administratif, melainkan persoalan legitimasi politik. Publik menilai tuntutan fasilitas tambahan tidak sejalan dengan kinerja legislatif. Dua persoalan utama—subsidi energi yang bocor hingga puluhan triliun dan lonjakan harga beras—mencerminkan lemahnya pengawasan DPR.
Dalam kondisi ini, kenaikan gaji berisiko memperlebar jarak dengan masyarakat. Kepercayaan publik hanya dapat dibangun kembali jika DPR mampu menunjukkan perbaikan kinerja nyata.
2. Saran
- DPR perlu memperkuat fungsi pengawasan distribusi subsidi energi dan pangan agar tepat sasaran.
- Pemanfaatan data terpadu kesejahteraan sosial dan audit rutin harus ditingkatkan.
- Respons krisis pangan harus cepat: memperluas operasi pasar, memperbaiki tata kelola cadangan beras, dan mendorong transparansi distribusi.
- Transparansi kinerja DPR harus ditingkatkan lewat laporan publik berkala.
- Kenaikan gaji sepatutnya menjadi konsekuensi dari kinerja yang membaik, bukan tuntutan di tengah banyak persoalan yang belum selesai.
Referensi
Harianto, Muhammad. (2025). Anggota DPR minta penguatan distribusi beras stabilkan harga pangan. Antara News
Alicya, Revy. (2025). Sebagian besar target BBM bersubsidi salah sasaran, sampai kapan? Farah.id
Sekretariat Kabinet RI. (2022). Pemerintah Alihkan Subsidi BBM Agar Lebih Tepat Sasaran. Setkab
Rachman, Arrijal. (2025). Harga beras eceran naik, rata-rata Rp15.393/kg di Agustus 2025. CNBC Indonesia
Hamdhi, Akmalal. (2025). BPS catat harga beras naik pada Agustus 2025. Berita Satu
Komentar