Sumedang, 12 September 2025 – Sore itu, suasana Kampung Palasari RT 03 RW 14, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Sumedang Selatan, tampak tenang. Di depan sebuah rumah sederhana, seorang pria paruh baya tampak sibuk menganyam bilah-bilah bambu. Jemarinya bergerak lincah meski sesekali ia harus berhenti untuk meredakan nyeri di kakinya yang pincang. Dialah Pak Mian, seorang pengrajin bambu berusia 65 tahun yang hingga kini masih setia berkarya.
Ketika ditemui wartawan di depan rumahnya, Pak Mian tersenyum ramah meski wajahnya terlihat lelah. Sambil terus melanjutkan pekerjaannya, ia bercerita tentang perjuangannya bertahan hidup dengan hanya mengandalkan kerajinan bambu.
“Kalau saya berhenti bekerja, berarti saya sudah menyerah. Selama tangan saya masih bisa bergerak, saya akan terus menganyam, meski kaki saya tidak bisa berjalan normal lagi,” ujar Pak Mian dengan suara penuh keteguhan.
Keterbatasan Fisik Bukan Halangan
Pak Mian mengalami keterbatasan pada kakinya sejak beberapa tahun lalu. Ia tidak bisa berjalan normal dan sering merasakan nyeri hebat ketika berdiri terlalu lama. Namun hal itu tidak mengurangi semangatnya.
Dengan duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, ia terus menganyam bambu menjadi besek, tampah, dan tudung saji. “Kalau diam saja, siapa yang kasih makan? Jadi ya harus tetap bekerja. Saya hanya bisa mengandalkan bambu untuk bertahan hidup,” ucapnya lirih.
Kerajinan Bambu Sebagai Jalan Hidup
Sejak kecil, Pak Mian sudah akrab dengan bambu. Orang tuanya dahulu juga seorang pengrajin. Dari mereka, ia belajar bahwa bambu bisa menjadi sumber kehidupan. “Dulu besek dipakai untuk bungkus makanan, tampah untuk menampi beras. Sekarang pun masih banyak yang butuh, walau zaman sudah modern,” katanya.
Hasil karyanya sangat beragam, mulai dari besek kecil yang biasa dipakai untuk wadah makanan, hingga tampah dan tudung saji berbagai ukuran. Produk-produk itu ia jual dengan harga terjangkau: besek Rp5.000–Rp10.000, tudung saji Rp25.000–Rp40.000, dan tampah Rp30.000–Rp50.000.
Namun, karena keterbatasan fisiknya, ia hanya mampu menghasilkan satu atau dua kerajinan per hari. Itu pun tergantung kondisi kesehatannya.
Harapan Sederhana
Pak Mian tidak meminta banyak. Ia hanya ingin karyanya dihargai dan dibeli oleh masyarakat. “Kalau ada yang beli, alhamdulillah. Bisa buat makan sehari-hari, bisa juga buat beli obat. Saya tidak minta kaya, cukup ada yang menghargai hasil kerja saya,” ujarnya sambil menundukkan kepala.
Di tengah keterbatasan dan usianya yang tidak lagi muda, kerajinan bambu menjadi satu-satunya jalan bagi Pak Mian untuk bertahan hidup.
Ajakan Simpati
Kisah Pak Mian adalah gambaran nyata perjuangan rakyat kecil yang tidak menyerah pada keadaan. Dengan kondisi fisik yang terbatas, ia tetap berkarya demi menyambung hidup.
Wartawan yang hadir menyaksikan langsung bagaimana Pak Mian terus bekerja di depan rumahnya, menganyam bambu tanpa kenal lelah. Suasana itu begitu menyentuh, seolah memberi pesan bahwa kerja keras tidak pernah mengenal batas usia maupun keterbatasan fisik.
Masyarakat yang peduli bisa membantu dengan cara sederhana: membeli hasil kerajinan bambu Pak Mian. Setiap pembelian akan sangat berarti, bukan hanya sebagai sumber penghasilan, tetapi juga bentuk penghargaan atas keteguhan hati seorang pengrajin tradisional.
📌 Alamat untuk membantu:
Rumah Pak Mian berada di Palasari RT 03 RW 04, Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.(Aep Saepudin)
Komentar