1 September 2025, Jeritan, Darah, dan Batas Pagar Tinggi yang Harus Terjadi?


Oleh: Yolla Nabila Fahepy
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unand

📲 Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID lewat WhatsApp Channel resmi kami:
👉 Klik di sini untuk bergabung


<<<<Ada Lowongan Kepala Biro Media Online Nasional di Pencarian Google Hari Ini>>>


Tanggal 1 September 2025 menjadi titik balik penting dalam demokrasi Indonesia. Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi yang melanda berbagai daerah, pagar-pagar tinggi di sekitar Gedung DPR bukan hanya berfungsi sebagai pembatas fisik, melainkan juga simbol jarak pemisah antara rakyat dengan wakil-wakil mereka.

Gelombang unjuk rasa yang dimulai sejak akhir Agustus 2025, tepat setelah 80 tahun kemerdekaan Indonesia, mencapai puncaknya dengan tragedi berdarah. Salah satu korban adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas akibat tindakan represif aparat. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah demonstrasi—yang menjadi jalan terakhir rakyat untuk menyuarakan aspirasi—harus selalu dibayar dengan darah dan air mata? Ataukah ada cara lain yang lebih elegan untuk menegakkan kedaulatan rakyat tanpa mengorbankan nyawa?


Demonstrasi sebagai Hak Konstitusional

Pertama, demonstrasi bukanlah sekadar ajang ricuh sebagaimana sering dipersepsikan. Ia merupakan manifestasi nyata kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang tidak bisa dikurangi dalam kondisi apa pun.

Ketika saluran aspirasi formal tidak lagi efektif dan publik merasa diabaikan, rakyat menjadikan demonstrasi sebagai jalan alternatif. Dengan demikian, unjuk rasa bukan sekadar kerumunan massa, melainkan cermin kegagalan institusi demokrasi dalam menjalankan fungsinya.

Sayangnya, DPR—sebagai lembaga representatif—sering lebih sibuk mengurus kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat. Banyak anggota DPR lebih menonjolkan gaya hidup mewah, menjaga privilese, dan bahkan terjerat isu tunjangan fantastis, di tengah rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Jurang ketidakpercayaan publik pun semakin lebar.


Era Digital dan Gerakan Rakyat

Di tengah keterbatasan ruang, media sosial muncul sebagai senjata baru rakyat. Salah satunya adalah gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang viral dengan simbol warna pink dan hijau. Warna pink terinspirasi dari ibu-ibu yang berani turun ke jalan, sementara hijau merepresentasikan kebaikan sekaligus warna khas ojek online yang dikendarai almarhum Affan.

Gerakan ini berhasil menyatukan berbagai organisasi masyarakat sipil, bahkan mendapat dukungan figur publik seperti Jerome Polin dan Salsa Erwina. Tuntutan yang disusun pun jelas: 17 poin jangka pendek (hingga 5 September 2025) dan 8 poin jangka panjang (hingga 31 Agustus 2026).

Namun, pembatasan ruang digital—terutama ketika platform seperti TikTok dibatasi—justru mempersempit ruang ekspresi rakyat. Akibatnya, ribuan orang turun ke jalan, merasa hanya dengan cara itu suara mereka bisa didengar.


Dari Partisipasi ke Kekerasan

Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob menyulut amarah massa. Demonstrasi yang semula berbekal aspirasi berubah menjadi lautan api dan amuk massa. Gedung pemerintah dibakar, toko dijarah, hingga rumah pejabat diserang.

Aksi anarkis ini tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga mengaburkan pesan utama demonstrasi itu sendiri. Partisipasi rakyat yang sejatinya berangkat dari kesadaran politik berubah arah, kehilangan substansi.

Lebih parah lagi, narasi palsu, hoaks, hingga deepfake marak beredar, memanipulasi opini publik. Buzzer bekerja mengalihkan isu. Rakyat semakin kehilangan pegangan atas kebenaran. Padahal, yang dibutuhkan hanyalah transparansi dan keadilan, termasuk penegakan hukum yang independen bagi Affan dan korban lainnya.


Potret Damai dari Sumatra Barat

Namun, tidak semua demonstrasi berakhir ricuh. Di Sumatra Barat, aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD berjalan damai dan tertib. Ribuan mahasiswa dari BEM se-Sumbar dan organisasi kepemudaan Cipayung Plus Kota Padang menyampaikan aspirasi tanpa ada satu pun kerusakan.

Bahkan, Wakil Gubernur Sumatra Barat, Vasko Ruseimy, hadir langsung untuk mendengar aspirasi rakyat. Aksi ini menjadi bukti bahwa demonstrasi bisa menjadi ruang dialog konstruktif jika kedua pihak saling menghormati. Nilai luhur Minangkabau, Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, benar-benar tercermin dalam aksi damai tersebut.


Membubarkan DPR Bukan Solusi

Teriakan “Bubarkan DPR” memang mencerminkan kekecewaan rakyat yang mendalam. Namun, solusi itu tidak konstitusional dan berisiko menjerumuskan negara pada tirani absolut tanpa pengawasan legislatif.

Sebaliknya, solusi yang lebih realistis adalah reformasi internal DPR, pemilu yang transparan, berbasis meritokrasi, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan. Pemilu seharusnya bukan sekadar ajang formalitas atau transaksi politik, melainkan panggung rakyat untuk memilih wakil-wakil yang benar-benar kompeten.


Penutup

Peristiwa 1 September 2025 meninggalkan luka mendalam, namun juga memberi pelajaran penting. Demonstrasi adalah bagian sah dari demokrasi, sebuah hak rakyat untuk mengingatkan penguasa. Namun, kekerasan dan manipulasi hanya akan menghilangkan esensinya.

Demokrasi tidak bisa hanya dijaga dengan pagar tinggi dan aparat bersenjata. Ia harus dijaga dengan transparansi, keadilan, dan penghormatan terhadap suara rakyat. Karena pada akhirnya, kedaulatan itu bukan milik segelintir elit, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.





Wartawan di lapangan dibekali Kode Sandi untuk membuka DAFTAR WARTAWAN Dibawah ini:DAFTAR WARTAWAN>>>


Tentang Kami

Mediapatriot.co.id adalah portal berita online nasional yang menyajikan informasi aktual, terpercaya, dan berimbang. Kami hadir untuk memberikan akses berita yang cepat dan akurat kepada masyarakat Indonesia, khususnya dalam bidang sosial, hukum, budaya, pemerintahan, dan berbagai isu strategis lainnya.
Didirikan oleh jurnalis senior Hamdanil Asykar, Mediapatriot.co.id berkomitmen menjaga integritas jurnalistik dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik sesuai pedoman Dewan Pers. Dengan jaringan kontributor di berbagai daerah, kami menghadirkan berita lokal dengan cakupan nasional.
Misi kami adalah menjadi media digital yang membangun kesadaran publik melalui berita-berita edukatif, mendalam, dan bebas hoaks. Kami percaya bahwa informasi yang sehat adalah pilar utama demokrasi dan kemajuan bangsa.
Tim redaksi kami terdiri dari wartawan-wartawan berpengalaman yang mengedepankan prinsip keberimbangan, cek fakta, dan validasi sumber dalam setiap pemberitaan. Kami juga membuka ruang partisipasi publik melalui opini dan laporan warga yang dikurasi secara profesional.
Mediapatriot.co.id juga menjalin kerja sama dengan lembaga pemerintah, swasta, dan komunitas untuk mendorong literasi digital serta pemberdayaan masyarakat melalui media.
Untuk pertanyaan, saran, atau kerja sama media, silakan hubungi kami melalui halaman Kontak.

<<<<Ada Lowongan Kepala Biro Media Online Nasional di Pencarian Google Hari Ini>>>


Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar