Jakarta, Mediapatriot.co.id — Kebebasan pers kembali menjadi sorotan setelah sejumlah kasus penghalangan kerja wartawan mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara tegas melindungi jurnalis yang sedang menjalankan tugasnya di lapangan.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000.” Ketentuan ini menegaskan bahwa tindakan melarang, mengusir, atau mengintimidasi wartawan yang sedang meliput dapat berimplikasi pidana.
Hak Pers yang Dilindungi
Pasal 4 UU Pers memberikan jaminan bahwa pers nasional memiliki kemerdekaan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan serta informasi. Pers juga berhak menyiarkan berita secara bebas dan bertanggung jawab sesuai kode etik jurnalistik. Karena itu, melarang wartawan meliput sama dengan melanggar hak publik dalam memperoleh informasi yang benar dan akurat.
Kebebasan pers merupakan salah satu pilar demokrasi. Wartawan hadir untuk menjalankan fungsi kontrol sosial, termasuk mengawasi jalannya pemerintahan serta mengungkap permasalahan di masyarakat. Jika kerja jurnalistik dihalangi, masyarakat berpotensi kehilangan informasi penting yang seharusnya diketahui.
Ancaman Kriminalisasi
Meski sudah dilindungi UU Pers, ancaman kriminalisasi terhadap wartawan masih sering terjadi. Selain penghalangan kerja di lapangan, wartawan juga kerap dijerat pasal lain, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Misalnya, berita yang dianggap merugikan pihak tertentu bisa dilaporkan sebagai pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Kondisi ini menimbulkan paradoks: di satu sisi negara menjamin kemerdekaan pers, tetapi di sisi lain aturan lain berpotensi membatasi ruang gerak jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai, praktik kriminalisasi pers dapat melemahkan demokrasi karena menimbulkan efek jera bagi wartawan.
Kasus di Lapangan
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus penghalangan wartawan meliput terjadi di sejumlah daerah. Misalnya, ada wartawan yang dilarang meliput rapat publik oleh aparat setempat, atau jurnalis yang diintimidasi saat mengambil gambar aksi unjuk rasa. Dewan Pers menegaskan bahwa praktik semacam itu bertentangan dengan semangat kebebasan pers.
Jika tidak ada penegakan hukum tegas, penghalangan peliputan akan menjadi preseden buruk. Publik akan semakin sulit mengakses informasi yang seharusnya terbuka.
Pentingnya Penegakan Hukum
Pengamat hukum menekankan bahwa aparat penegak hukum wajib menindak setiap pihak yang melarang atau mengintimidasi wartawan. Selain itu, edukasi mengenai hak dan kewajiban pers perlu diperkuat, baik kepada aparat maupun masyarakat luas. Dengan begitu, setiap orang memahami bahwa kerja wartawan dilindungi undang-undang.
Dewan Pers juga mengimbau wartawan untuk tetap mematuhi kode etik jurnalistik. Kebebasan pers tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan harus dijalankan secara profesional, berimbang, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketua Dewan Pers dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa penghalangan peliputan merupakan tindak pidana. “Setiap jurnalis yang bekerja sesuai kode etik berhak dilindungi. Melarang wartawan meliput berarti merampas hak publik untuk mendapatkan informasi,” ujarnya.(Hamdanil)













