
Oleh: Shelza Putri Danty
Mahasiswa Universitas Andalas
Partai Politik seharusnya jalur utama bagi lahirnya pemimpin berkualitas serta melewati kaderisasi yang sehat. Namun, nyatanya di Indonesia justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Dalam proses rekrutmen partai politik lebih mirip pasar gelap dari pada demokrasi. Karena dalam praktiknya, peluang mendapat tiket politik lebih ditentukan oleh isi dompet, garis keturunan, dan kedekatan dengan anggota partai, bukan kualitas kepemimpinan. Rakyat dibuat percaya bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat, tetapi faktanya arah kekuasaan sepenuhnya ditentukan oleh elite politik.
Fenomena masuk nya artis bukan hal yang baru namun menjadi persoalan partai politik rekrumen anggotanya dengan pola serba cepat sehingga dianggap polaritas lebih penting di bandingkan kapasitas dan integritas. masyarakat memberikan opini terhadap partai politik hilangnya nilai-nilai sebagai seorang pemimpin, tapi nyata nya Partai politik selalu menganggap popularitas artis merupakan cara cepat untuk meraih suara, partai politik selalu tergoda karena efekbalitas mudah di dongkrak lewat nama besar dan penggemar, Tetapi apakah otomatis popularitas berbanding lurus dengan kemampuan legislasi? Pemahaman tata negara? Serta mengerti terhadap persoalan rakyat? Jelas tidak, politik bukan sekedar panggung hiburan melainkan ruang serius untuk menentukan masa depan bangsa.
Selain itu, praktik politik uang sudah menjadi rahasia umum dan terus di pelihara. Banyak calon anggota legislatif maupun kepala daerah harus mengeeluarkan sejumlah uang agar bisa di usung oleh partai bahkan biaya pecalonan nya bisa sampai miliaran. Pandangan terhadap demokrasi pun berubah di mata rakyat, karena bukan lagi tentang kualitas gagasan dan integritas tetapi sekedar transaksi modal. Ketika uang membuat kekuasaan tidak pernah lepas dari genggaman elite. Masyarakat resah dan mempertanyakan, kapan bangsa ini berani menghentikan rantai permainan yan bisa memberikan dampak buruk terhadap kekuasaan? karena pemimpin yang berdiri di atas uang, bukan di atas kepercayaan rakyat mustahil berkomitmen penuh pada kepentingan publik.
Ketika proses rekrumen partai politik dijadikan dagangan, rakyat tidak lagi antusias dengan calon anggota politik menjelang pemilu, sosok calon pemimpin di bentuk seperti barang jualan bahkan pencitraan yang kelebihaan. akibatnya subtansi demokrasi terasingkan oleh kepentingan praktis
Jika kondisi ini terus dipelihara, maka generasi mendatang hanya akan mewarisi demokrasi yang penuh kepalsuan. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi rakyat berubah menjadi panggung elitisme dan komersialisasi kekuasaan. Rakyat perlahan terdorong untuk apatis, merasa suara mereka tidak lagi berarti karena pemenang sudah ditentukan oleh transaksi sebelum pemungutan suara dimulai. Lama kelamaan masyarakat tidak lagi melihat politik sebagai alat perjuangan, tetapi sebagai permainan kotor yang jauh dari moralitas dan tanggung jawab. Bahayanya, ketika ketidakpercayaan sudah mengakar, maka muncul potensi konflik horizontal, karena rakyat mencari saluran alternatif untuk menyalurkan kemarahan mereka. Pada titik ini, negara tidak hanya kehilangan wibawa, tapi juga kehilangan legitimasi. Karena kekuasaan yang dibeli dengan uang tidak akan pernah mampu membeli kepercayaan rakyat.
Akibat dari rusaknya sistem rekrutmen politik ini tidak hanya dirasakan saat pemilu, tetapi berjalan hingga ke kebijakan publik. Pejabat yang naik dengan modal uang tentu akan berusaha mengembalikan investasinya melalui proyek, korupsi anggaran, atau keberpihakan kepada kelompok tertentu yang telah membiayainya. Pada akhirnya, rakyat kembali menjadi korban karena kebijakan tidak lagi berpihak pada kebutuhan masyarakat, melainkan dikunci oleh kepentingan sponsor politik. Lalu di mana keadilan sosial yang dijanjikan dalam konstitusi? Bagaimana mungkin negara bisa sejahtera jika kursi kekuasaan diduduki oleh mereka yang sejak awal menjadikan rakyat hanya sebagai objek, bukan subjek?
Lebih mengkhawatirkan lagi, budaya transaksional ini menciptakan normalisasi baru bahwa politik memang harus dijalankan dengan uang. Anak muda yang idealis akan berpikir seribu kali sebelum masuk politik, karena mereka merasa tidak punya modal finansial untuk bersaing. Maka politik hanya akan dipenuhi oleh mereka yang punya uang, bukan mereka yang punya gagasan. Jika dibiarkan, siklus ini akan menyingkirkan pemimpin-pemimpin berintegritas sejak dari pintu masuk, bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kapasitasnya. Bangsa ini akhirnya terjebak dalam lingkaran setan, rakyat marah pada korupsi, tetapi sistem terus melahirkan koruptor baru.
Sudah saatnya rakyat tidak lagi diam. Rekrutmen politik harus diawasi secara terbuka, pendanaan partai harus transparan, dan kaderisasi harus dikembalikan pada nilai ideologi, bukan nominal setoran. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan menjadi pesta lima tahunan yang meriah di permukaan, tetapi busuk di dalamnya. Dan sebuah bangsa tidak mungkin besar jika pemimpinnya lahir dari pembelian, bukan dari perjuangan.
Rakyat tidak boleh terus dibius oleh janji-janji manis kala kampanye, lalu dikhianati setelah kursi kekuasaan diraih. Jika partai politik tetap bersikukuh menjadikan kekuasaan sebagai komoditas, maka wajar jika rakyat suatu saat memilih melawan dengan caranya sendiri. Demokrasi tidak diciptakan untuk memanjakan elit, melainkan untuk melindungi kedaulatan rakyat. Maka bila mekanisme formal tak lagi mampu menghadirkan keadilan, gelombang perlawanan sosial adalah konsekuensi yang lahir secara alami. Sebab kesabaran rakyat ada batasnya, dan kekuasaan yang tidak lagi berpihak pada rakyat pada akhirnya akan digulung oleh rakyat itu sendiri.



















