Oleh: Nayla Rosmita Putri
A. Pendahuluan
Indonesia bermimpi menjadi salah satu kekuatan besar dunia pada tahun 2045. Namun, mari jujur: bagaimana mungkin mimpi itu tercapai bila hampir 20% anak-anak kita masih mengalami stunting?
Stunting bukan sekadar tubuh pendek. Ia adalah simbol kegagalan kolektif dalam menyediakan gizi, pendidikan, dan layanan kesehatan yang layak bagi generasi penerus. Anak yang mengalami stunting berisiko memiliki daya pikir lebih rendah, rentan sakit, dan kesulitan mengejar prestasi akademik.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bicara tentang “generasi emas” jika masih ada jutaan anak yang tak diberi kesempatan tumbuh optimal sejak awal kehidupan? Dengan kata lain, stunting adalah “bom waktu” yang bisa menghambat daya saing bangsa. Jika dibiarkan, Indonesia sedang menyiapkan “generasi hilang” yang tidak pernah benar-benar mendapatkan kesempatan untuk berkembang maksimal.
B. Argumen
1. Gambaran Data Terkini
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 mencatat prevalensi stunting turun menjadi 19,8%, lebih baik dibandingkan 24,4% pada tahun 2021. Penurunan ini memang menggembirakan, tetapi tetap berarti hampir 5 juta anak Indonesia hidup dengan pertumbuhan terhambat.
Menurut UNICEF, stunting dapat mengurangi kecerdasan anak hingga 11 poin IQ dan meningkatkan risiko penyakit kronis di masa dewasa. Dengan kata lain, stunting adalah ancaman nyata bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.
2. Penyebab Kompleks
Penyebab stunting tidak sesederhana “kurang makan”. Banyak faktor yang saling terkait, seperti:
- Pola asuh yang minim edukasi gizi.
- Akses air bersih yang terbatas.
- Rendahnya kualitas layanan kesehatan ibu dan anak.
- Kemiskinan struktural yang membuat keluarga sulit memenuhi kebutuhan dasar.
Sebuah studi dalam The 1st Conference of Health and Social Humaniora (COHESIN) Universitas Muhammadiyah Klaten menegaskan bahwa stunting sering dipicu kombinasi gizi buruk, infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi perkembangan anak. Artinya, mengatasi stunting tidak bisa hanya dengan program makanan tambahan, tetapi juga harus melibatkan perubahan pola hidup, sanitasi, serta edukasi keluarga.
3. Dampak Jangka Panjang
Bayangkan jika 1 dari 5 generasi penerus bangsa tumbuh dengan keterbatasan fisik dan kognitif. Konsekuensinya:
- Produktivitas tenaga kerja akan menurun.
- Daya saing Indonesia melemah.
- Bonus demografi berpotensi berubah menjadi beban demografi.
Padahal, visi Indonesia Emas 2045 sepenuhnya bergantung pada kualitas sumber daya manusia—bukan sekadar jumlah penduduk.
4. Apa yang Harus Dilakukan?
- Pertama, pemerintah perlu memastikan program intervensi gizi tidak berhenti pada kampanye seremonial, melainkan benar-benar menyentuh keluarga di akar rumput.
- Kedua, edukasi gizi harus lebih masif, tidak hanya melalui puskesmas, tetapi juga lewat sekolah dan komunitas.
- Ketiga, masyarakat perlu sadar bahwa mencegah stunting bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi tanggung jawab bersama. Orang tua, tenaga kesehatan, dan tokoh masyarakat harus ikut aktif berperan.
C. Penutup
Indonesia memiliki waktu hingga 2029 untuk menurunkan angka stunting menjadi 14%. Target ini bukan mustahil, tetapi hanya bisa terwujud jika ada kolaborasi nyata antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan.
Stunting adalah alarm keras yang mengingatkan kita: masa depan bangsa ditentukan oleh seberapa serius kita menjaga anak-anak hari ini. “Generasi emas 2045” bukan sekadar mimpi indah di atas kertas, tetapi cita-cita yang harus diperjuangkan—mulai dari meja makan keluarga hingga kebijakan nasional.
Masa depan Indonesia sangat bergantung pada hadirnya anak-anak yang tumbuh sehat, cerdas, dan kuat.
Referensi
- Kementerian Kesehatan RI. (2025, Mei 26). SSGI 2024: Prevalensi Stunting Nasional Turun Menjadi 19,8%. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
- UNICEF. (2023). Reducing Stunting in Children: Equity and Sustainable Development. New York: UNICEF.
- Trisilaswati, R., & Syahputri, R. B. (2023). Determinan Stunting di Indonesia: Literatur Review. Proceedings of The 1st Conference of Health and Social Humaniora (COHESIN), Universitas Muhammadiyah Klaten.















