Vonis 10 Tahun, Tapi Belum Ditahan! Kades Imran dan Akuang Diduga Kebal Hukum, Warga Langkat Ancam Geruduk PN Medan
Selasa, 7 Oktober 2025 | Pukul 10.00 WIB
Mediapatriot.co.id | Langkat – Gelombang kemarahan publik membuncah dari pesisir Langkat hingga Medan. Dua nama besar, Imran, S.Pd.I, Kepala Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, dan Alexander Halim alias Akuang alias Lim Sia Cheng, pengusaha sawit kawakan, menjadi simbol ironi hukum di Sumatera Utara.
Vonis Berat, Tapi Tanpa Tahanan
Bagaimana tidak—meski divonis 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan Kelas IA Khusus dalam kasus korupsi alih fungsi hutan mangrove senilai Rp787 miliar, keduanya masih bebas berkeliaran tanpa penahanan.
Sidang yang digelar pada Senin, 11 Agustus 2025, menghadirkan fakta mengejutkan. Ketua Majelis Hakim M. Nazir, S.H., M.H., dalam amar putusannya secara tegas menyatakan kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor, dan memerintahkan agar keduanya ditahan.
Namun, realitas berkata lain. Setelah palu hakim diketuk, Imran dan Akuang melenggang bebas meninggalkan ruang sidang tanpa pengawalan — sebuah pemandangan yang mencoreng rasa keadilan publik.
Jaksa Penuntut Umum sebelumnya menuntut keduanya 15 tahun penjara, namun majelis hakim menurunkannya menjadi 10 tahun dengan alasan kesehatan. Padahal, selama sidang berlangsung, keduanya tampak sehat dan aktif berkomunikasi dengan kuasa hukum.
Ketika dikonfirmasi, Juru Bicara PN Medan, Soniady DS, membenarkan adanya perintah penahanan dalam amar putusan. Namun, saat ditanya mengapa eksekusi tidak dijalankan, ia memilih bungkam.
Rakyat Tapak Kuda Meledak: “Hukum Tumpul di Hadapan Pejabat Desa!”
Kondisi ini memicu amarah warga Desa Tapak Kuda, tempat Imran masih menjabat kepala desa meski sudah berstatus terdakwa korupsi. Warga menilai hukum telah kehilangan tajinya dan mengancam akan menggeruduk PN Medan jika keadilan terus diabaikan.
“Imran ini sudah keterlaluan. Surat Camat saja dia abaikan, keputusan semua diambil sepihak. Kami di BPD yang disalahkan warga, padahal semua ulahnya,” tegas Ketua BPD Tapak Kuda, Syaiful Bahri Hasibuan, Rabu (1/10/2025).
Imran juga diduga melakukan penyalahgunaan wewenang di tingkat desa — mencopot Sekretaris Desa secara sepihak dan menggantinya dengan adik kandungnya, Abd Rahmad, tanpa musyawarah.
Surat Camat Tanjung Pura, Tengku Reza Aditya, S.IP., bernomor 400.1022-346/TP/2025 tertanggal 25 Agustus 2025, yang memerintahkan pemulihan jabatan kepada Sekdes lama, Khairunnisa, diabaikan mentah-mentah.
Warga menilai Pemkab Langkat lamban dan ambigu dalam menyikapi situasi ini. Dalam rapat koordinasi bersama Inspektorat, Sekda, Bagian Hukum, dan Kadis PMD Langkat, pemerintah hanya menyatakan menunggu petikan putusan PN Medan sebelum memberhentikan Imran secara resmi.
“Kami ini rakyat kecil. Yang kami tahu, orang yang sudah divonis bersalah seharusnya ditahan. Tapi Imran? Masih bebas, malah makin semena-mena. Kalau PN Tipikor Medan dan Bupati Langkat tidak segera bertindak, kami akan turun ke jalan!” ujar seorang warga dengan nada geram.
Kasus Korupsi Raksasa: Rp787 Miliar Raib, Hutan Mangrove Musnah
Berdasarkan hasil persidangan, kerugian perekonomian negara mencapai Rp787,1 miliar, sementara kerugian negara langsung Rp10,5 miliar dan keuntungan ilegal Rp69,6 miliar.
Lahan yang dialihfungsikan merupakan kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang dilindungi undang-undang. Namun, selama lebih dari dua dekade, area itu dikuasai dan dikelola menjadi perkebunan sawit oleh kelompok usaha yang dikendalikan Akuang.
Menurut Jumino, tokoh masyarakat sekaligus Kepala Staf KBNI (Korps Bela Negara Indonesia) Kabupaten Langkat, kondisi jalan di sekitar perkebunan tetap rusak meski hasil sawit mengalir setiap bulan.
“Lebih dari 25 tahun mereka menikmati hasil sawit, tapi desa kami tak berubah. Bahkan saat RDP di DPRD Langkat, pengusaha yang diundang malah tak datang,” ungkapnya kecewa.
Dugaan Nepotisme dan Manipulasi Jabatan
Selain menjabat Kades Tapak Kuda, Imran juga disebut masih aktif sebagai Kepala Sekolah di MTs Nurbahri Desa Bubun, serta menerima tunjangan profesi guru.
Ironisnya, di tengah status hukum yang membelit, ia tetap melakukan mutasi perangkat desa tanpa koordinasi dengan BPD, menambah daftar dugaan pelanggaran etika dan administrasi.
Saksi-saksi bahkan menyebut, lahan yang sudah disita Kejati Sumut dan diserahkan ke BKSDA masih terus dipanen oleh Koperasi Sinar Tani Makmur, yang diduga dijaga aparat bersenjata.
WALHI Sumut: “Ini Kejahatan Terhadap Lingkungan dan Keadilan”
Direktur WALHI Sumut, Doni Latuparissa, menilai kasus ini bukan sekadar korupsi, tetapi juga kejahatan ekologis.
“Alih fungsi mangrove telah menghancurkan habitat satwa pesisir. Vonis 10 tahun tanpa penahanan sama saja melecehkan keadilan dan masa depan lingkungan,” ujarnya tegas.
Publik Menuntut Jawaban: Siapa yang Melindungi Mereka?
Kasus Imran dan Akuang kini menjadi ujian moral bagi supremasi hukum di Indonesia. Jika amar putusan hakim yang eksplisit tentang penahanan bisa diabaikan begitu saja, lalu di mana letak wibawa peradilan negeri ini?
Warga Tapak Kuda dan aktivis lingkungan kini bersatu menuntut tindakan nyata. Mereka meminta Kejati Sumut dan PN Tipikor Medan segera mengeksekusi putusan demi memulihkan kepercayaan publik yang kian terkikis.
“Ini bukan sekadar soal Imran atau Akuang. Ini soal wajah hukum kita. Kalau orang yang sudah divonis bisa bebas, maka hukum hanya jadi alat bagi yang berkuasa,” tutup seorang warga Tapak Kuda yang enggan disebut namanya.
Catatan Redaksi
Kasus Kades Imran dan Akuang adalah simbol betapa tajamnya hukum ke bawah, namun tumpul ke atas. Ketika pejabat yang telah divonis masih bebas melangkah tanpa belenggu, keadilan menjadi sekadar ilusi. Publik kini menunggu: apakah supremasi hukum masih hidup di negeri ini, atau telah mati perlahan di ruang sidang PN Tipikor Medan?
(Ramlan | Mediapatriot.co.id)
Komentar