Graha Rekayasa Indonesia, Jakarta Selatan, Senin (13/10/2025), tampak lebih hidup dari biasanya. Aula yang biasanya tenang kini dipenuhi percakapan hangat para insinyur, akademisi, dan pelaku industri. Mereka datang bukan sekadar menghadiri workshop, melainkan menyambut babak baru dalam sejarah energi nasional: pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama di Indonesia.
Acara bertajuk “Reindustrialisasi: Kesiapan Insinyur Profesional dan Industri dalam Mendukung Pembangunan PLTN Pertama di Indonesia” digelar oleh Badan Keahlian Teknik Nuklir, Persatuan Insinyur Indonesia (BKTN-PII). Lebih dari 400 peserta mengikuti kegiatan ini secara daring, sementara sekitar 40 peserta hadir langsung di lokasi. Sejumlah media nasional turut meliput jalannya acara.
Kegiatan dibuka oleh Dr. Ir. Khoirul Huda, M.Eng., IPU, Ketua BKTN, yang menegaskan pentingnya peran insinyur dalam proyek strategis nasional ini. Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Dr. Ir. Teguh Haryono, ST, MBA, IPU, ASEA, Eng., ACPE, APEC Eng., Sekretaris Jenderal PII, mewakili Dr. Ing. Ilham Akbar Habibie, MBA, IPU, Ketua Umum PII.
“PLTN bukan semata soal nuklir,” ujarnya. “Ini proyek multidisiplin yang melibatkan teknik sipil, mesin, elektro, industri, hingga regulasi dan keselamatan.”
Simbol kemandirian teknologi
Paparan utama disampaikan oleh Mustaba Ari Suryoko, ST, MT, Koordinator Penyiapan Program Usaha Aneka EBT dari Kementerian ESDM, mewakili Prof. Dr. Eniya Listiani Dewi, B.Eng., M.Eng., IPU. Ia menegaskan bahwa pembangunan PLTN menjadi bagian penting dari strategi transisi energi bersih menuju net zero emission.
“PLTN bukan hanya pembangkit listrik,” ujarnya, “tetapi simbol kemandirian teknologi dan industri nasional.”
Kesiapan SDM dan sertifikasi profesi
Dalam sesi workshop, isu kesiapan sumber daya manusia profesional di bidang nuklir menjadi sorotan utama. Sejumlah peserta mengkritisi implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang dinilai belum berjalan optimal.
“Berbeda dengan profesi dokter yang tak bisa berpraktik tanpa STR, banyak insinyur belum tersertifikasi secara resmi,” kata Khoirul Huda. “Padahal undang-undang sudah mengamanatkan bahwa setiap kegiatan keinsinyuran harus dilakukan oleh insinyur profesional bersertifikat.”
Prof. Dr. Susilo Widodo, M.Sc., Ketua Umum Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI), menambahkan bahwa sertifikasi di bidang nuklir masih terbatas pada lingkup tertentu, terutama terkait isotop. Ia berharap ke depan muncul Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) khusus bidang nuklir dengan pengakuan nasional dan internasional.
“Kita butuh LSP yang membentuk SDM profesional, tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga budaya keselamatan,” ujarnya.
Industri lokal dan rantai pasok
Dari sisi industri, tantangan utama datang dari pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Susilo menilai, untuk mendukung pembangunan PLTN, Indonesia perlu membentuk nuclear manufacturing hub yang menghubungkan berbagai industri komponen agar mampu berkontribusi hingga 40 persen TKDN.
Dr. Ir. Jupiter Sitorus Pane, M.Sc., yang memimpin sesi diskusi, menjelaskan bahwa kesiapan industri nasional sangat bergantung pada kekuatan rantai pasok yang memenuhi standar keselamatan nuklir.
“Kita perlu mengenali setiap komponen PLTN, baik di area nuklir, area turbin, maupun balance of plant,” ujarnya. “Komponen seperti beton, pompa, pipa, kabel, hingga sistem kontrol harus diidentifikasi, mana yang bisa diproduksi industri nasional, mana yang perlu kerja sama internasional.”
Etika, regulasi, dan tata kelola
Diskusi semakin menarik ketika Sahat Hutagalung, pensiunan PLN, mengusulkan agar standar operasi PLTN mengadopsi sistem PLTU yang sudah mapan, guna mempercepat kesiapan regulasi dan operator.
Namun, Ir. Mucharom Ahmadi, ST., mengingatkan bahwa aspek etika dan profesionalisme insinyur juga tidak kalah penting. “Masyarakat harus diyakinkan bahwa penggunaan tenaga nuklir aman dan diawasi secara ketat,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, Andhico menyoroti pentingnya manajemen risiko dan integrasi antarinstansi. Sementara itu, Ir. Adiwardojo, mantan Deputi Kepala BATAN Bidang Energi Nuklir, menekankan bahwa PLTN tidak boleh dilihat sebagai proyek tunggal, melainkan bagian dari Sistem Energi Nasional yang mencakup penambangan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar, instalasi PLTN, hingga pengelolaan limbah.
Ekosistem industri masa depan
Menutup kegiatan, Khoirul Huda mengibaratkan pembangunan PLTN seperti membeli mobil.
“Kita tidak harus punya kilang minyak untuk menjalankan mobil, tapi kita perlu ekosistem industri yang mendukungnya,” katanya.
Ia menegaskan, PII telah menyiapkan jejaring insinyur lintas disiplin untuk mendukung pembangunan energi masa depan yang aman, andal, dan berkelanjutan.
Workshop ini menegaskan bahwa pembangunan PLTN bukan sekadar proyek energi, melainkan momentum reindustrialisasi nasional. Kolaborasi antara pemerintah, insinyur, dan industri menjadi kunci menuju kemandirian energi dan teknologi. Dengan semangat profesionalisme, para insinyur Indonesia siap menuliskan sejarah baru: menghadirkan PLTN pertama di Tanah Air untuk tujuan damai dan kemajuan bangsa.
Komentar