TRENGGALEK — Di balik senyum yang tampak biasa, tersimpan kisah yang tak semua orang pahami. Di rumah kecil di pinggir Kota Trenggalek, seorang pria bernama Kusnan menjalani hari-harinya dengan ketenangan yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang telah lama berdamai dengan sakitnya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun Kusnan berjuang melawan penyakit yang tak kunjung pergi. Beragam obat telah dicoba, dari resep dokter hingga ramuan tradisional, namun tak satu pun benar-benar mampu menuntaskan rasa nyeri yang kerap datang tiba-tiba. “Saya sudah terbiasa, Mas. Kalau sakit datang, ya saya diam saja,” katanya pelan, sambil tersenyum tipis.
Namun, yang menarik bukanlah tentang obat yang ia minum, melainkan tentang kekuatan yang tak tertulis di resep dokter — kekuatan untuk bertahan, menerima, dan tetap bersyukur. Di tengah keterbatasan ekonomi, Kusnan tetap berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia memelihara beberapa ekor ayam dan menanam sayuran di pekarangan sempit di belakang rumah.
“Yang penting anak-anak bisa sekolah. Saya nggak mau mereka berhenti karena keadaan bapaknya,” ujarnya, menatap halaman rumah yang sederhana namun penuh kehidupan.
Di lingkungan tempat tinggalnya, Kusnan dikenal sebagai sosok yang ringan tangan. Ia sering membantu tetangga memperbaiki genteng bocor atau menebang bambu, meski tubuhnya tak sekuat dulu. Bagi banyak orang di sekitarnya, Kusnan adalah pengingat bahwa semangat hidup sering kali lebih kuat dari pengobatan medis.
Dokter yang menanganinya di puskesmas setempat mengakui, kondisi pasien seperti Kusnan tidak hanya membutuhkan perawatan fisik, tetapi juga dukungan sosial dan emosional. “Kadang pasien seperti Pak Kusnan ini lebih butuh ditemani, diajak bicara, daripada sekadar diberi resep,” tutur sang dokter.
Kisah Kusnan adalah potret kecil dari banyak warga desa yang menghadapi penyakit kronis dengan keterbatasan. Mereka tak selalu punya akses pada pengobatan modern, tapi memiliki sesuatu yang tak kalah berharga — keteguhan hati.
Sore itu, sebelum berpamitan, Kusnan sempat berucap lirih, “Saya percaya, Mas, setiap sakit pasti ada maknanya. Kalau belum sembuh, berarti Tuhan masih ingin saya belajar sabar.”
Sebuah kalimat sederhana yang mungkin tak tertulis dalam resep dokter mana pun, tetapi menyembuhkan dalam cara yang lain.(Red)



















