Mediapatriot.co.id Jakarta 15 Oktober 2025
Kemarin berlokasi di Kekinian Coworking Jl. Cikini Raya No. 49 Jakarta Pusat diadakan Talkshow dalam rangka hari pangan Dunia yang jatuh tgl 15 Oktober 2025 dengan mengangkat Tema acara ” Hak Atas Pangan Atas Sumber Cuan ” Dengan beberapa tokoh Narasumber yang hadir antara lain : Putra Naptian ( Pantai Gambut) Rizky Nazkiyah ( ICW) Marthin Hadiwinata ( FIAN Indonesia ) Dan Bapak Said Abdullah (KRKP).
Dalam Talishow tersebut masing masing Narasumber menjelaskan tentang MBG dalam sudut pandang Kapasitas dan Kapabilitas dari setiap Narsum dalam menjelaskan termasuk menjawab pertanyaan dari setiap peseta pada Acara Q&A, Dengan Durasi waktu 2 jam acara talkshow tsb terkesan interaktif dan komunikatif antara peserta dan narsum yang hadir.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai
sistem pangan di Indonesia semakin dikuasai oleh korporasi besar dan gagal
menjawab persoalan mendasar seperti kelaparan, ketimpangan akses
terhadap pangan sehat, serta kesejahteraan petani. Kritik tersebut
disampaikan dalam forum memperingati Hari Pangan Sedunia 2025 yang
mengusung tema “Hak Atas Pangan Bukan Sumber Cuan”. Dalam forum
tersebut juga dideklarasikan pembentukan Koalisi Pangan Anti Cuan
(PACUAN) yang terdiri dari FIAN Indonesia, Indonesia Corruption Watch
(ICW), Sayogjo Institute, Transparency International Indonesia (TII),
Solidaritas Perempuan, Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS),
Indonesia for Global Justice (IGJ), Pantau Gambut, Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI),
dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi.
FIAN Indonesia menyoroti bahwa sistem pangan nasional masih didominasi
oleh korporasi, sementara pemerintah gagal menjawab masalah utama
seperti kelaparan dan ketimpangan akses pangan sehat.
Data menunjukkan
lebih dari 17 juta penduduk Indonesia mengalami kelaparan, dan sekitar 120
juta orang tidak mampu membeli makanan bergizi. Marthin Hadiwinata dari Organisasi FIAN menilai
pemerintah terus menggembar-gemborkan narasi swasembada
pangan, padahal Indonesia masih bergantung pada impor.
Ia menilai program
food estate hanya mengulang kegagalan masa lalu karena bersifat militeristik
dan mengabaikan sistem pangan lokal yang beragam.
Terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG), Marthin menilai
pelaksanaannya tidak transparan, tidak melibatkan publik, serta tidak tepat
sasaran. Ia bahkan menyebut program ini sebagai “proyek yang didesain
untuk gagal” karena berpotensi memanipulasi data kasus keracunan. FIAN
mendesak agar pemerintah lebih berpihak pada produsen pangan kecil dan
memperkuat sistem pangan lokal yang terbukti lebih berkelanjutan.
Senada dengan itu, Nisa Rizkiah dari Indonesia Corruption Watch (ICW)
mengungkap bahwa sektor pangan di Indonesia sangat rentan terhadap
korupsi. Ia mencontohkan sejumlah kasus, mulai dari impor sapi dan bawang
putih hingga korupsi bantuan sosial saat pandemi COVID-19. Menurutnya,
program MBG tidak menjawab akar masalah ketahanan pangan maupun
kemiskinan struktural, dan lebih berorientasi pada janji politik Presiden
Prabowo. ICW menilai pengadaan MBG yang didominasi perusahaan besar
tanpa melibatkan petani lokal berpotensi memperdalam ketimpangan.
ICW juga menyoroti besarnya anggaran MBG yang diperkirakan menyerap
44% dari APBN pendidikan tahun 2026. Nisa menilai lemahnya transparansi
anggaran, keterlambatan pembayaran kepada penyedia makanan sekolah
(SPPG), serta indikasi konflik kepentingan memperbesar risiko korupsi. Ia
menegaskan pemerintah perlu menghentikan sementara program MBG dan
melakukan evaluasi menyeluruh.
Dari sisi lingkungan, Putra Saptian dari Pantau Gambut menyebut proyek
food estate kembali mengulang kegagalan masa lalu, terutama di lahan gambut
Kalimantan Tengah. Hasil pemantauan di 30 titik menunjukkan hanya 1%
lahan yang layak ditanami, sementara sebagian besar rusak dan berubah
menjadi perkebunan kelapa sawit. Ia menilai proyek tersebut justru memberi
keuntungan bagi industri besar, merusak ekosistem gambut, serta
memarginalkan masyarakat lokal.
Mareta dari Solidaritas Perempuan menyoroti ketidakadilan gender dalam
sistem pangan nasional. Menurutnya, perempuan sering dipandang hanya
sebagai konsumen, padahal mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan
dalam mengelola pangan lokal. Ia mencontohkan perempuan di Sumba yang
mampu mengolah ubi beracun menjadi bahan pangan aman, tetapi
pengetahuan lokal semacam ini kerap diabaikan oleh kebijakan negara.
Mareta juga mengkritik kebijakan seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU Pangan
yang lebih menguntungkan korporasi ketimbang mendukung pangan
komunitas.
Sementara itu, Agung Prakoso dari Indonesia for Global Justice (IGJ)
menilai kebijakan pangan nasional semakin liberal dan korporatis akibat
tekanan perjanjian perdagangan bebas internasional. Ia menyoroti potensi
dampak negatif dari perjanjian IU–CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa yang
dapat membatasi hak petani dalam mengelola benih akibat konvensi UPOV
1991. Menurutnya, istilah sustainable food system yang digunakan dalam
perjanjian internasional sering kali menjadi bentuk greenwashing yang
menguntungkan korporasi besar.
Iqbal dari Sayogjo Institute menilai akar persoalan pangan Indonesia
terletak pada ideologi pertanian warisan Revolusi Hijau yang menekankan
produksi berbasis input kimia dan teknologi tinggi. Hal itu membuat petani
makin terpinggirkan, lahan semakin sempit, dan lingkungan rusak. Ia
menyarankan agar program MBG meniru pendekatan Usaha Perbaikan Gizi.
Keluarga (UPGK) yang dahulu melibatkan peran aktif ibu rumah tangga.
Terakhir, Izza dari Transparency International Indonesia (TII) menyebut
bahwa peringatan Hari Pangan Sedunia kini kehilangan maknanya karena
kebijakan pangan lebih berpihak pada korporasi dan kepentingan politik.
Menurutnya, proyek seperti food estate dan MBG dilakukan dengan
penunjukan langsung, minim keterbukaan dan sangat rentan terhadap korupsi dan kolusi dalam implementasinya.
Sehingga PACUAN dalam seruannya menekankan agar pemerintah jangan berorientasi selalu pada keuntungan ekonomi semata tetapi msngedepankan keberpihakan dan mengembalikan hak kepada warga negara. PACUAN berkeyakinan bahwa Kekuatan Pangan Nasional bisa terjadi jika petani kecil, perempuan dan masyarakat lokal jadi motor penggerak utama dan pusat pangan nasional.
Kontributor : ( Indra Permana )
Komentar