LAMONGAN, 7 Oktober 2025 – Di sebuah sudut sepi di Desa Kebet, Kecamatan Lamongan, berdiri sebuah rumah yang nyaris roboh. Dindingnya retak, atapnya berlubang, dan lantainya masih berupa tanah yang becek setiap kali hujan turun. Di tempat itulah, lima jiwa bertahan hidup di tengah keterbatasan yang tak kunjung berujung.
Rumah itu dihuni oleh Arif (44), kakaknya yang berusia sekitar 50 tahun, dua anak yang masih duduk di bangku sekolah, serta sang ibu yang kini harus menumpang di rumah kerabat karena kondisi bangunan sudah tak layak huni.
“Kalau hujan, kami pindah ke pojok supaya nggak kehujanan. Kadang ember kami taruh di mana-mana buat nampung air yang bocor,” ujar Arif dengan nada datar. “Kalau banjir datang, air bisa selutut. Sudah biasa, Mas.”
Di balik kepasrahan itu, tersimpan rasa kecewa. Ia bercerita sudah berulang kali mengajukan bantuan ke pemerintah desa hingga tingkat kecamatan, namun belum ada hasil. Alasannya, rumah tersebut bukan atas namanya.
“Rumah ini punya ibu. Karena sekarang ibu tinggal di rumah saudara, katanya nggak bisa diajukan bantuan. Jadi kami ini nunggu rumah roboh dulu baru diperhatikan?” ucapnya pelan.
Bantuan yang Tak Pernah Tuntas
Arif bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah harian yang pas-pasan. Kakaknya membuka jasa servis elektronik, tapi sudah lama tak ada pelanggan. Di sudut rumah, etalase tua berdebu menjadi saksi bisu kesepian rezeki yang tak datang.
“Pernah sih dapat bantuan, tapi cuma sebagian. Tembok baru dibangun, tapi atapnya tetap bolong. Kayunya juga sudah lapuk. Ya, paling beberapa bulan lagi rusak lagi,” kata Arif sambil menunjuk langit-langit rumah yang hitam karena lembap.
Bantuan setengah hati itu justru menambah getir. Rumah mereka kini tampak seperti tambalan darurat—sebuah simbol dari janji pembangunan yang belum menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Hilangnya Kepercayaan Warga Miskin
Ketika tim media mendatangi rumah tersebut, Arif awalnya enggan berbicara. Ia mengira kedatangan wartawan hanya akan menambah daftar panjang janji tanpa bukti.
“Kalau cuma mau wawancara, percuma, Mas. Sudah sering. Nggak ada hasilnya,” ujarnya. Namun, setelah beberapa saat berbincang, ia akhirnya mau membuka kisah hidupnya—bukan untuk mencari simpati, tapi untuk menyuarakan harapan yang nyaris padam.
“Saya kerja cuma cukup buat makan. Kalau bukan pemerintah yang turun tangan, siapa lagi? Rumah ini jelas-jelas mau roboh, tapi nggak ada yang peduli,” katanya lirih.
Ucapan itu menjadi pengingat pahit tentang bagaimana kemiskinan sering kali hanya dilihat, tapi jarang ditolong.
Potret Ketimpangan di Tengah Kemajuan
Di saat banyak daerah berlomba menampilkan wajah kemajuan dan modernisasi, kisah seperti keluarga Arif adalah cermin yang memantulkan sisi lain dari pembangunan: mereka yang tertinggal. Rumah reot di Kebet seolah menegaskan bahwa tidak semua warga menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan.
Menjelang senja, Arif sempat meminta maaf karena sempat menolak diwawancarai. “Saya cuma sudah capek, Mas. Sudah sering dibilang mau dibantu, tapi sampai sekarang nggak ada kabarnya,” ujarnya sambil menatap tanah.
Rumah itu kini tetap berdiri—rapuh, senyap, namun penuh harapan yang belum padam. Di balik genting bolong dan dinding retak, tersimpan pesan sederhana: kemiskinan bukan sekadar data statistik, melainkan kisah nyata yang menunggu uluran tangan manusiawi dari mereka yang berkuasa.(ARS)
Komentar