
Rabu,22/10/2025 | Pukul 10.15 WIB
Mediapatriot.co.id | Medan, Sumatera Utara —
Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Medan dalam perkara korupsi alih fungsi hutan mangrove di Kabupaten Langkat menimbulkan perdebatan hangat di kalangan publik dan pemerhati hukum lingkungan.
Dalam sidang banding yang digelar Rabu (15/10/2025), majelis hakim PT Medan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta kepada terdakwa Imran alias Ucok (42).
Putusan ini jauh lebih ringan dibanding vonis sebelumnya di Pengadilan Negeri (PN) Medan, yang menghukum Imran dengan 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Majelis hakim PT Medan menyatakan bahwa dakwaan primair—yakni korupsi berlanjut dengan kerugian negara besar—tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Namun, Imran tetap dinyatakan bersalah dalam dakwaan subsidair, yaitu tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut.
Perbedaan Tajam antara Putusan PN dan PT Medan
Pada putusan tingkat pertama, PN Medan menjatuhkan vonis berat 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, dengan tambahan tiga bulan kurungan jika denda tidak dibayar.
Selain itu, pengadilan menetapkan sembilan bundel akta jual beli sebagai barang bukti utama dalam kasus tersebut.
Namun, PT Medan mengambil arah berbeda. Dalam putusan banding, majelis hakim menilai pembuktian dakwaan utama tidak cukup kuat.
Vonis kemudian dialihkan ke dakwaan subsidair, dan hukuman dipangkas menjadi dua tahun penjara dengan denda Rp50 juta. Bila denda tidak dibayar, terdakwa dikenai tambahan kurungan satu bulan.
Selain itu, PT Medan menetapkan 272 dokumen dan surat sebagai barang bukti sah, termasuk Akta Jual Beli Nomor 77–89/Tanjung Pura/2003 yang dibuat oleh PPAT Kabupaten Langkat, Wenny Aditya Kurniawan, SH.
Sebagian dokumen tersebut juga dikaitkan dengan perkara lain atas nama Alexander Halim alias Lim Sia Cheng, menambah kompleksitas penyelidikan hukum terkait lahan yang pernah berstatus hutan mangrove di Langkat.
Penjelasan Resmi dari Pengadilan Tinggi Medan
Juru Bicara Pengadilan Tinggi Medan, Saut Tua Pasaribu, menjelaskan bahwa putusan tersebut diambil setelah majelis hakim melakukan penelaahan menyeluruh terhadap fakta-fakta persidangan dan berkas banding.
“Majelis hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan primair karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Namun, terdakwa tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan subsidair,” ujar Saut.
Ia menambahkan, “PT Medan menjatuhkan pidana dua tahun penjara dan denda Rp50 juta, dengan ketentuan jika denda tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan.
Status penahanan terdakwa tetap berlaku, dan seluruh dokumen bernomor urut 1 hingga 272 ditetapkan sebagai barang bukti.”Refleksi atas Disparitas Vonis dan Keadilan Lingkungan.
Perbedaan mencolok antara putusan PN dan PT Medan ini memunculkan tanda tanya serius di tengah publik:
Apakah penurunan hukuman tersebut mencerminkan kelemahan pembuktian di tingkat pertama, atau justru hasil strategi hukum yang efektif dari pihak terdakwa?
Bagi banyak pemerhati hukum, kasus ini bukan sekadar soal hukuman, tetapi refleksi mendalam tentang konsistensi dan integritas penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam kasus korupsi yang berdampak langsung pada kelestarian lingkungan hidup.
Hutan mangrove yang dirambah untuk kepentingan pribadi sejatinya merupakan benteng ekologis yang melindungi kawasan pesisir dari abrasi dan bencana. Alih fungsi kawasan tersebut tanpa dasar hukum yang sah bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak sistem penyangga kehidupan masyarakat pesisir.
Pertanyaan moral pun muncul: apakah vonis ringan bagi pelaku yang terlibat dalam praktik perambahan kawasan konservasi dapat disebut sebagai bentuk keadilan substantif, atau justru preseden yang melemahkan upaya perlindungan lingkungan dan supremasi hukum?
Penutup
Kasus ini menjadi cermin penting bagi semua pemangku kepentingan, bahwa penegakan hukum lingkungan tidak boleh berhenti pada aspek formal semata. Ketika hutan mangrove dikorbankan demi kepentingan sesaat, yang hilang bukan hanya ekosistem, melainkan masa depan generasi mendatang.
Langkah hukum berikutnya — apakah kasasi ke Mahkamah Agung atau langkah penegakan lain oleh aparat penegak hukum — kini menjadi perhatian publik, yang menanti jawaban atas satu pertanyaan sederhana namun fundamental:
“Masih adakah keadilan bagi alam dan rakyat kecil di negeri ini?”
(Ramlan|Mediapatriot.co.id|Kabiro Langkat)













Komentar