Tegal — Peringatan Hari Santri 2025 masih terus menggema di berbagai daerah. Di Kabupaten Tegal, peringatan tersebut digelar dalam suasana penuh semangat di halaman Pondok Pesantren (Ponpes) Babakan, Desa Babakan, Kecamatan Lebaksiu, pada Kamis (22/10/2025). Acara bertajuk Gelaran Parowulan itu menjadi ajang kolaborasi antara para santri, seniman, dan budayawan lokal.


Kegiatan tersebut digagas langsung oleh pengasuh Pondok Pesantren Al Bab, Gus Aqib, yang juga menjadi tuan rumah peringatan. Dalam sambutannya, Gus Aqib menegaskan bahwa pesantren harus menjadi ruang terbuka bagi tumbuhnya kreativitas dan ekspresi budaya.
“Saya memberikan tempat di pelataran ini agar para santri dapat mengenal lebih dekat seniman dan budayawan Kabupaten Tegal. Ini juga menjadi ruang bagi mereka untuk tampil satu panggung dengan para sastrawan dan seniman nasional asal Tegal,” ujar Gus Aqib.
“Gelaran Parowulan adalah ajang ekspresi untuk menjadi manusia seutuhnya,” tambahnya menutup sambutan.
Acara yang dipandu oleh Retno Kusrini ini menampilkan beragam pertunjukan seni. Dimulai dengan pembacaan puisi oleh sastrawati asal Pangkah, Tegal, yang mengangkat tema penghambaan kepada Sang Khalik. Disusul narasi oleh Wahyu Ranggati tentang makna Peringatan Hari Santri.
Suasana semakin semarak ketika kelompok santriwati “Ananda Cs” membawakan tembang nasyid yang menggugah semangat para hadirin. Berikutnya tampil penyair “Si Manusia Nol” atau Mas Apas Kafasi, yang membacakan puisi berbahasa Tegal berjudul “Nging”, disertai narasi singkat mengenai perjalanan batin manusia.
Tak kalah menarik, kelompok seni Gumarang Sakti Nusantara ikut meramaikan acara dengan lantunan tembang khas Tegal berjudul “Kembang Kemoncer”, menambah nuansa lokal yang kental di tengah perayaan Hari Santri tersebut.
Menyatukan Seni dan Pesantren
Dalam sesi gendu rasa, dua tokoh utama tampil memberikan pandangan mendalam. Gus Aqib menyoroti pentingnya pesantren dalam menjaga kearifan lokal sekaligus membuka diri terhadap perkembangan seni.
“Sebuah pesantren harus memiliki santri, kyai, pondok, dan sarana ibadah. Namun, di tengah fungsi keagamaan, pesantren juga perlu memberi ruang bagi kesenian agar santri memahami nilai budaya daerahnya,” ungkapnya.
Sementara itu, H. Atmo Tan Sidiq, yang menjadi pembicara kedua, memaparkan pengalamannya dalam menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Tegal. Menurutnya, upaya itu menjadi bentuk nyata penguatan identitas lokal dalam bingkai keislaman.
“Lokalitas pesantren adalah sunatullah. Ibarat pohon yang baik, maka akarnya pun harus baik,” ujar H. Atmo Tan Sidiq menutup sesi diskusi.
Kegiatan Gelaran Parowulan di Ponpes Babakan menjadi cermin semangat santri dalam menjaga harmoni antara ilmu, akhlak, dan budaya. Bagi masyarakat Tegal, kegiatan seperti ini tidak hanya memperingati Hari Santri, tetapi juga memperkuat jati diri daerah yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai keislaman.(NurDibyo)












Komentar