
Rabu,29/10/2025.Pukul.09:12.WIB.
Mediapatrio.co.id|Langkat, Sumatera Utara, Ada pemandangan yang menohok nurani di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tanjung Pura.
Sebuah pondok pesantren berdiri dengan tembok yang mulai mengelupas, atap seng berkarat, dan ruang belajar sederhana yang lebih mirip gudang tua ketimbang tempat menimba ilmu.
Namun di balik keterbatasan itu, terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an — lirih, namun menggema jauh melebihi suara pembangunan yang sering kali hanya berhenti di bibir janji.
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Khairah adalah nama lembaga itu. Di sanalah 38 siswa RA Miftahul Janah, 112 santri Tsanawiyah, dan 90 santri Aliyah meniti masa depan dengan modal kesabaran dan semangat yang tak lekang oleh kemiskinan fasilitas.
Di bawah asuhan Erwin Suratin, pondok ini tetap berdiri — bukan karena bantuan, melainkan karena keikhlasan.
“Sekolah ini gratis. Tapi pemerintah seolah tutup mata. Bangunannya sudah banyak yang rusak,” ujar.
Junaidi, warga sekitar, dengan nada kecewa yang sulit disembunyikan.
 Ironi itu mencolok. Ketika di tempat lain, dana pendidikan mengalir deras untuk mengecat ulang gedung megah, pondok ini justru berjuang agar temboknya tak roboh.
Ketika para pejabat sibuk berpidato tentang “revolusi mental” dan “generasi emas”, di sini anak-anak belajar di bawah atap bocor — menghafal Al-Qur’an di kursi plastik yang patah satu kakinya.
Erwin Suratin, Ketua Yayasan, tak menuntut istana.
Ia hanya memohon agar pemerintah menoleh barang sejenak.
“Kami tak pernah menerima bantuan, baik dari pemerintah daerah maupun Kementerian Agama.
Pondok ini perlu perbaikan total,” ucap Erwin lirih, membawa nada pasrah yang justru memantulkan kekuatan iman.
Padahal, pondok ini memiliki izin operasional resmi — Nomor 510012050040. Legal, sah, dan berfungsi penuh.
Tapi entah mengapa, legalitas kadang tak cukup kuat menembus telinga birokrasi yang tuli terhadap suara rakyat kecil.
Sejatinya, pondok pesantren seperti Al-Khairah adalah benteng moral terakhir di tengah arus modernitas yang kian mencabut akar nilai.
Di tempat inilah generasi bangsa belajar bukan hanya membaca huruf Arab, tetapi juga menulis kembali makna kejujuran, kesederhanaan, dan keteguhan iman.
Sayangnya, benteng ini mulai retak — bukan oleh waktu, melainkan oleh abainya perhatian.
Kita sering dengar kata
“pembangunan berkeadilan.” Namun di Al-Khairah, keadilan itu terasa seperti bayang-bayang sore: panjang dalam pidato, tapi cepat hilang ketika malam tiba.
Sementara para pejabat berlomba memotong pita peresmian gedung baru, di pondok ini para santri justru memotong keinginan pribadi demi bertahan menuntut ilmu.
Apakah nurani pemimpin negeri ini sudah sekeras semen proyek
mercusuar yang mereka banggakan?
 Ataukah mereka lupa, bahwa suara paling jernih dari langit bukanlah tepuk tangan di podium, melainkan suara anak-anak yang membaca Al-Qur’an dengan perut kosong dan atap bocor?
 Pondok Pesantren Al-Khairah di Langkat ini mungkin hanya titik kecil di peta Indonesia.
Tapi di titik kecil itu, sedang berdenyut harapan besar — agar negara ini tak hanya sibuk menghitung jumlah gedung sekolah, tapi mulai menghitung nilai moral yang mereka biarkan runtuh.
Karena di ujung segala pembangunan, yang akan menegakkan bangsa ini bukanlah besi dan beton, melainkan iman yang disemai di pondok-pondok sederhana seperti Al-Khairah.
(Ramlan|Mediapstriot.co.id|Kabiro Langkat)
Lokasi: Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Khairah, Desa Pantai Cermin, Kec. Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara
 Tanggal: 29 Oktober 2025.


 
 














Komentar