(Sumber Foto Kompas.com)
Penulis: Agnes Ria Febriyanti
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Socio Legal Studies Universitas Indonesia
Jakarta, MediaPatriot.co.id — 29 Oktober 2025. Ketika Presiden Prabowo meluncurkan Program Masyarakat Bergerak untuk Gizi (MBG) pada 6 Januari 2025, publik menyambutnya dengan penuh harapan. Program yang disebut-sebut sebagai “lompatan besar” dalam penanganan gizi buruk ini digadang mampu menjadi solusi atas masalah klasik yang menjerat jutaan anak Indonesia: kemiskinan dan kekurangan gizi.
Dengan anggaran ratusan triliun rupiah—salah satu yang terbesar dalam sejarah anggaran sosial nasional—MBG dipandang sebagai wujud nyata komitmen negara terhadap masa depan generasi bangsa. Namun, setahun berjalan, sejumlah pertanyaan mulai mencuat: apakah Mimpi Besar Gizi ini benar-benar membawa perbaikan nyata, atau justru menambah luka baru dalam perjalanan panjang bangsa mengatasi stunting dan ketimpangan sosial?
Keamanan Pangan yang Terabaikan
Salah satu tujuan utama MBG adalah menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun, fakta di lapangan menunjukkan ironi. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan CISDI (2025), lebih dari 6.000 anak dilaporkan mengalami keracunan akibat makanan dari program MBG. Hasil uji laboratorium menemukan kontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella dalam sejumlah sampel makanan yang didistribusikan.
Data tersebut menggugah pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin program dengan anggaran sedemikian besar tidak mampu menjamin keamanan pangan bagi penerimanya?
Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, hingga September 2025, hanya 198 dari 10.012 dapur MBG (1,98%) yang telah memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Angka ini jauh dari target nasional yang menetapkan seluruh dapur MBG harus bersertifikat sebelum akhir Oktober 2025. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pembangunan program yang megah tidak akan berarti jika fondasinya—keamanan dan higienitas—tidak diperhatikan dengan serius.
“Ini seperti membangun istana megah di atas pasir,” tulis penulis. “Indah di luar, tapi rapuh di dalam.”
Ketimpangan Distribusi: Antara Target dan Realitas
Selain isu keamanan, distribusi dan perencanaan program MBG juga dinilai bermasalah. Beberapa daerah dengan angka stunting tinggi seperti Papua justru mendapatkan alokasi dapur yang minim, sementara wilayah dengan kondisi gizi yang relatif lebih baik menerima pasokan berlebih.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan dan efektivitas kebijakan. Apakah perencanaan MBG terlalu berorientasi pada target kuantitatif yang mudah dicapai, ketimbang memahami kebutuhan nyata masyarakat di lapangan?
Distribusi yang tidak berbasis data semacam ini berpotensi memperlebar jurang ketimpangan sosial antarwilayah. Jika kondisi ini dibiarkan, maka program yang seharusnya menyembuhkan justru dapat melukai, menciptakan ketidakadilan baru di tengah upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat.
Transparansi dan Akuntabilitas: Kunci Keberlanjutan
Dengan alokasi dana ratusan triliun rupiah, MBG menuntut pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, potensi penyalahgunaan anggaran akan sulit dihindari.
“Bagaimana memastikan setiap rupiah benar-benar sampai ke anak-anak yang membutuhkan?” tulis penulis dalam refleksinya. “Jika transparansi diabaikan, MBG bisa menjadi lahan subur bagi praktik korupsi.”
Masyarakat berhak mengetahui ke mana dana publik digunakan, siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan di lapangan, dan bagaimana hasil yang dicapai diukur secara terbuka.
Lebih dari Sekadar Memberi Makan
Program MBG pada dasarnya memiliki potensi besar untuk memperbaiki kualitas gizi dan kesehatan masyarakat. Namun, persoalan gizi buruk di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh kurangnya makanan, melainkan juga oleh akar ketimpangan sosial dan ekonomi yang lebih dalam.
“Memberi makan saja tidak cukup,” tegas penulis. “Kita perlu solusi struktural yang memastikan pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.”
Untuk menciptakan perubahan berkelanjutan, program seperti MBG harus didukung oleh kebijakan lintas sektor yang memperkuat ketahanan keluarga, memperluas akses pangan sehat, dan memperbaiki infrastruktur layanan publik di daerah tertinggal.
Harapan di Tengah Kritik
Meski menghadapi berbagai kritik dan tantangan, MBG masih menyimpan potensi besar jika dijalankan dengan prinsip transparansi, pemerataan, dan pengawasan yang kuat. Program ini dapat menjadi tonggak penting dalam sejarah pembangunan manusia Indonesia, asalkan dijalankan bukan sekadar demi pencitraan, melainkan demi keberlanjutan kesejahteraan generasi masa depan.
Apakah Mimpi Besar Gizi ini akan menjadi kenyataan atau hanya menambah luka, jawabannya bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu mengubah kritik menjadi koreksi, dan menjadikan harapan rakyat sebagai kompas dalam setiap langkah kebijakan.
(Red Irwan)










Komentar