Foto paling kanan Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi, Latu Har Hary, S.Sn,
Foto tengah batik coklat Sarwin Edi Saputra, anggota Komisi I DPRD Kota Bekasi
Kota Bekasi, 28 Oktober 2025 – Upaya penyelesaian persoalan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang kembali menjadi sorotan. Komunitas Si Paling Lingkungan menggelar Simposium Sampah Bantargebang di Graha Bintang, Jalan WR Supratman No. 63, Kota Bekasi, Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk anggota DPRD Kota Bekasi, aktivis lingkungan, serta perwakilan masyarakat terdampak.
Komisi II DPRD Minta Evaluasi Kinerja Tim Monev
Ketua Komisi II DPRD Kota Bekasi, Latu Har Hary, S.Sn, menegaskan bahwa persoalan sampah di Bantargebang bukan sekadar isu teknis, melainkan sudah menyangkut tanggung jawab moral dan lingkungan. Ia menyoroti lemahnya pengawasan dan transparansi dari Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap operasional TPST Bantargebang.
“Kami di Komisi II akan memanggil pihak Dinas Lingkungan Hidup untuk meminta pertanggungjawaban atas kinerja Tim Monev. Selama ini belum ada data valid hasil monitoring dan evaluasi di lapangan yang kami terima,” ujar Latu Har Hary.
Ia juga mempertanyakan kompetensi anggota Tim Monev yang ditunjuk pemerintah daerah. Menurutnya, posisi strategis tersebut seharusnya diisi oleh orang-orang yang memiliki kemampuan dan pemahaman lingkungan yang mumpuni.
“Kita ingin tahu apakah Tim Monev diisi oleh orang yang kompeten atau hanya penunjukan administratif semata. Sebab, hingga kini DPRD tidak pernah mendapat laporan hasil evaluasi dari tim tersebut,” tegasnya.
Latu Har Hary menilai bahwa kondisi di Bantargebang telah mencapai tahap krisis ekologi, yang menuntut tindakan cepat dan empatik dari pemerintah. “Prinsipnya, keras pada waktunya, lembut pada masanya. Kita tidak hanya bicara regulasi, tapi juga empati terhadap penderitaan warga di sekitar TPA,” tambahnya.
Pencemaran Lingkungan Sudah Terjadi Puluhan Tahun
Dalam kesempatan itu, Tama narasumber dari Komnas HAM juga menyinggung fakta bahwa pencemaran di wilayah sekitar TPA Bantargebang telah terjadi sejak lama. Ia menyebut bahwa sejak TPST beroperasi pada 1989, warga sekitar telah menjadi korban dampak negatif dari pengelolaan sampah yang tidak memadai.
“Secara kasat mata pencemaran air sudah jelas. Dulu air berwarna kuning, sekarang hitam pekat. Itu bukti nyata pencemaran yang berlangsung selama puluhan tahun,” ujarnya.
Menurutnya, kompensasi yang diberikan kepada warga justru menjadi bukti pengakuan negara atas adanya pencemaran. Berdasarkan Perda No. 4 Tahun 2019, kompensasi diberikan kepada warga terdampak, namun jumlahnya dianggap belum adil.
“Nilai kompensasi Rp1,2 juta per tiga bulan itu sudah tidak layak. Hanya untuk membeli air bersih pun tidak cukup, sementara warga mempertaruhkan kesehatan dan usia hidup mereka,” katanya.
Desakan Perbaikan Tata Kelola dan Transparansi Anggaran
Salah satu warga Bantargebang juga menyoroti buruknya tata kelola anggaran terkait pengelolaan sampah dan kebutuhan air bersih warga. Ia mengungkap adanya indikasi penyalahgunaan anggaran pada program penyediaan air bersih, termasuk proyek sumur artesis yang ternyata juga sudah tercemar.
“Pemerintah wajib menyampaikan secara berkala kondisi kualitas udara dan air kepada masyarakat. Jika memang sudah tercemar, warga harus tahu agar bisa mengantisipasi dampaknya,” ujarnya menegaskan.
Sarwin Edi Saputra: Perjuangkan Hak Warga dan Transparansi Monev
Sementara itu, Sarwin Edi Saputra, anggota Komisi I DPRD Kota Bekasi dari Fraksi Golkar, turut hadir dan memberikan pandangan dalam simposium tersebut. Ia menegaskan komitmennya memperjuangkan aspirasi warga Bantar Gebang, khususnya terkait kompensasi, lapangan kerja, dan transparansi Tim Monev.
Sarwin menjelaskan bahwa ia telah mendorong peningkatan nilai kompensasi bagi warga serta menuntut agar tenaga kerja lokal mendapat prioritas di fasilitas Refuse-Derived Fuel (RDF) Plant TPST Bantargebang.
“Warga Bantar Gebang harus menjadi prioritas dalam rekrutmen di RDF Plant. Mereka yang paling terdampak, jadi seharusnya juga mendapat manfaat langsung,” ujar Sarwin.
Selain itu, Sarwin juga menuntut pencairan segera honorarium Tim Monev yang diduga belum dibayarkan oleh pemerintah daerah. Ia menilai keterlambatan ini menandakan lemahnya manajemen dan transparansi dalam tata kelola TPST Bantargebang.
Tuntutan Bersama: Pulihkan Lingkungan, Lindungi Warga
Para peserta simposium sepakat bahwa persoalan utama di Bantargebang bukan hanya soal teknis pengelolaan sampah, melainkan soal keadilan lingkungan. Mereka menuntut pemerintah untuk melakukan pemulihan lingkungan secara menyeluruh, memastikan perlindungan sosial dan kesehatan bagi warga, serta membuka data hasil monitoring lingkungan secara publik.
Simposium ini diakhiri dengan seruan agar Pemkot Bekasi dan Pemprov DKI Jakarta melakukan langkah konkret dan transparan dalam memperbaiki tata kelola TPST Bantargebang yang selama ini dinilai gagal menjamin hak-hak warga sekitar.
“Warga Bantargebang tidak butuh janji, mereka butuh air bersih dan lingkungan sehat,” tutupnya salah satu Warga Bantargebang.
(Red Irwan)











Komentar