Surabaya, mediapatriot.co.id — Kebijakan pemerintah Indonesia yang melegalkan pelaksanaan umrah mandiri melalui Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU) Nomor 14 Tahun 2025 menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Meski dianggap sebagai langkah progresif yang memberi keleluasaan bagi jamaah, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi risiko dan lemahnya pengawasan di lapangan.
Wakil Rektor II Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, menilai bahwa efisiensi tanpa tata kelola yang baik justru berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi jamaah.
“Narasi yang diusung terdengar menarik — lebih hemat, lebih fleksibel, dan seolah lebih efisien. Namun sejumlah kasus gagal berangkat dan ketidakpastian layanan belakangan ini mengingatkan kita bahwa efisiensi yang tidak diiringi tata kelola justru bisa menimbulkan risiko mahal,” ujarnya, Minggu (2/11/2025).
Menurut Supangat, konsep umrah mandiri akan menjadi tren baru di masyarakat seiring kemajuan teknologi digital dan akses informasi yang luas. Kini, calon jamaah bisa mengatur seluruh kebutuhan perjalanan — mulai dari tiket, akomodasi, hingga transportasi lokal — tanpa melalui biro resmi. Namun, ia menekankan pentingnya kemampuan manajemen risiko dalam praktik ini.
“Dalam konteks universitas saja, setiap efisiensi anggaran selalu disertai analisis risiko, mitigasi, serta mekanisme akuntabilitas. Prinsip itu juga berlaku dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Kemandirian harus diiringi pemahaman kontrak dan legalitas penyedia jasa. Tanpa itu, efisiensi bisa berubah menjadi kerentanan,” tegasnya.
Supangat juga mengingatkan bahwa harga murah bukan jaminan efisiensi sejati. Ia menilai bahwa efisiensi yang ideal harus mencakup keseimbangan antara biaya, manfaat, dan keamanan.
“Murah belum tentu efisien. Tiket murah sering kali hanya menunjukkan penghematan biaya, padahal efisiensi sejati berbicara tentang keseimbangan antara pengeluaran dan kualitas layanan,” tambahnya.
Fenomena umrah mandiri, lanjutnya, bisa menjadi pelajaran penting tentang bagaimana masyarakat modern memahami makna efisiensi dan tanggung jawab pribadi dalam mengelola risiko.
“Dalam era keterbukaan informasi, tata kelola menjadi pagar moral yang menjaga keseimbangan antara kemandirian dan keamanan. Efisiensi tanpa tata kelola hanya menghasilkan ilusi kepraktisan, sementara tata kelola tanpa efisiensi kehilangan daya geraknya,” pungkasnya.
Kebijakan legalisasi umrah mandiri diharapkan dapat memberi alternatif baru bagi masyarakat, namun para ahli mengingatkan perlunya edukasi, transparansi, dan pengawasan agar kebebasan ini tidak justru membuka peluang penipuan dan ketidakpastian layanan bagi jamaah.(Djarot Ilusya)













Komentar