Mediapatriot.co.id Jakarta 8 November 2025
Oleh : Hamidin Pengamat Terorisme Global (Mantan Deputy Kerjasama Internasional pada BNPT RI)
Jakarta – Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat siang, 7 November 2025, bukan sekadar dentuman fisik yang mengguncang sekolah. Ia adalah ledakan simbolik dari luka sosial yang selama ini terpendam, melukai puluhan siswa dan guru, meninggalkan trauma, dan memunculkan pertanyaan besar: apa yang mendorong seorang anak sekolah menyalurkan amarahnya dengan cara paling tragis?
Dari keterangan awal aparat, pelaku kemungkinan adalah siswa sendiri, berusia sekitar 17 tahun, yang dikenal pendiam dan tertutup. Polisi tidak menutup kemungkinan bahwa ia menjadi korban bullying atau tekanan sosial di lingkungan sekolah. Bila dugaan itu benar, ledakan ini lebih dari insiden kriminal; ia adalah tindakan regresif-balasan, manifestasi luka psikologis yang lama terpendam dan akhirnya meledak dalam bentuk kekerasan fisik.
Bullying, meski kerap diremehkan, memiliki efek psikologis serius. Korban bisa kehilangan harga diri, merasa terasing, hingga menumpuk kemarahan yang tak tersalurkan. Dalam banyak kasus, tekanan yang dibiarkan menumpuk ini dapat memuncak dalam tindakan ekstrem. Ledakan di SMA 72, dengan demikian, bisa dipahami sebagai buah dari luka sosial yang membusuk tanpa penanganan.
Di sisi lain, muncul dugaan bahwa tindakan ini mungkin terkait dengan ideologi ekstrem atau lone wolf terrorism—aksi kekerasan tunggal yang dilakukan tanpa komando organisasi, tetapi terinspirasi narasi ekstrem yang beredar di dunia maya. Era digital memang memungkinkan radikalisasi terjadi tanpa kontak langsung. Propaganda yang memadukan pesan heroik dan penderitaan global bisa menjadi “bahan bakar emosional” bagi remaja yang sedang mencari identitas.
Namun, dalam konteks Indonesia, kemungkinan proses radikalisasi konvensional—melalui guru radikal (warship), pembelajaran tertutup (discipleship), atau jaringan pertemanan ideologis (friendship)—terlihat sangat kecil. Hal ini berkat keberhasilan program kontra-radikalisasi dan deradikalisasi yang dijalankan Densus 88 dan BNPT. Program rehabilitasi narapidana terorisme, pemberdayaan mantan pelaku, serta pendekatan sosial-ekonomi telah menjadikan Indonesia salah satu negara dengan strategi penanganan ekstremisme paling komprehensif di dunia.
Keunggulan model Indonesia terletak pada kombinasi penegakan hukum dan pendekatan kemanusiaan. Aparat tidak hanya menindak pelaku, tetapi juga menyembuhkan luka ideologis melalui edukasi, pembinaan sosial, dan pemberdayaan ekonomi. Karena itu, kemungkinan adanya proses indoktrinasi klasik dari guru radikal atau jaringan rahasia tampak sangat kecil.
Yang tetap harus diwaspadai hanyalah kemungkinan ekstrem: sel tidur (hybernated cell), jaringan yang selama ini dorman, namun dapat bangkit bila ada pemicu signifikan—misalnya kemunculan tokoh simbolik seperti Hambali atau seruan global dari pimpinan terorisme. Meski demikian, hingga saat ini aparat menegaskan tidak ada bukti keterkaitan pelaku dengan jaringan teror aktif, domestik maupun internasional.
Dalam perspektif ini, tragedi SMA 72 lebih masuk akal dibaca sebagai letupan sosial yang dibungkus simbol kekerasan, bukan serangan ideologis yang terstruktur. Pelaku tampaknya bukan radikal, melainkan remaja yang kehilangan ruang aman, yang mencoba menyalurkan amarahnya melalui cara paling tragis.
Namun konteks global tetap relevan. Konflik di Timur Tengah, krisis Gaza, hingga tensi politik di negara lain menciptakan gelombang narasi emosional yang tersebar luas di media sosial. Gambar penderitaan, seruan heroik, dan propaganda bisa menembus batas logika, terutama bagi remaja yang sedang mencari identitas. Emosi yang tersulut oleh isu global dapat menjadi pemicu tambahan, meski tidak ada hubungan langsung dengan jaringan teror aktif.
Tragedi ini mengingatkan kita bahwa keamanan bukan hanya soal menghadang bom atau menangkap pelaku, tetapi juga soal membangun ketahanan sosial sejak dini. Dunia pendidikan harus menjadi ruang aman, bukan sekadar tempat belajar. Guru, konselor, dan teman sebaya perlu peka terhadap perubahan perilaku siswa. Program anti-bullying tidak cukup menjadi slogan; ia harus menjadi budaya yang menumbuhkan empati dan solidaritas.
Keberhasilan Indonesia dalam menekan radikalisasi konvensional adalah prestasi nyata. Namun ketahanan sejati juga tergantung pada keluarga, sekolah, dan komunitas—yang mampu mendeteksi tanda-tanda luka sosial sebelum berubah menjadi aksi destruktif. Ledakan di SMA 72 bukan sekadar persoalan hukum atau keamanan, tetapi juga peringatan moral: ekstremisme dapat tumbuh dari kesepian, kekecewaan, dan rasa terasing.
Kasus ini juga menekankan bahwa senjata terkuat melawan kekerasan bukan hanya aparat atau undang-undang, tetapi perhatian, kasih, dan kemampuan mendengar. Luka yang dibiarkan diam bisa meledak dengan cara paling tragis. Anak-anak perlu merasa aman tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan sosial.
Ledakan di SMA 72 adalah cermin bagi bangsa: betapa pentingnya empati, ruang aman, dan solidaritas dalam kehidupan sehari-hari. Indonesia telah menyiapkan sistem keamanan dan program deradikalisasi yang diakui dunia. Namun mencegah tragedi berikutnya membutuhkan kesadaran kolektif—bahwa anak-anak yang terluka di hati bisa menjadi bom waktu jika tidak ada yang mendengar dan menuntun mereka ke jalan yang benar.
Catatan Referensi
1. “Menko Polkam: Ledakan di SMAN 72 didalami, belum tentu aksi teroris,” Antaranews.com, 7 Nov 2025.
2. “Ledakan SMAN 72: Pelaku korban bully masih didalami polisi,” Antaranews.com, 7 Nov 2025.
3. Harits Abu Ulya & Stanislaus Riyanta, “Lone Wolf di Indonesia,” Kompas.com & Jurnal Keamanan Nasional, 2024.
4. Data BNPT & Densus 88, “Model Deradikalisasi Indonesia,” Radicalismstudies.org, 2023.
Kontributor : ( Indra Permana )














Komentar