Palu — Setiap tahun, tanggal 10 November menjadi ruang renungan bagi bangsa Indonesia. Di hari itulah rakyat diingatkan kembali pada keberanian, pengorbanan, dan semangat tanpa pamrih para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Bagi Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah, Dra. Diah Agustiningsih, M.Pd, Hari Pahlawan bukan sekadar upacara atau seremoni tahunan, melainkan panggilan moral untuk bekerja dengan hati dan menjaga warisan bangsa.
“Semangat pahlawan itu tidak pernah mati. Ia hanya berganti wujud. Dulu mereka mengangkat senjata, kini kita berjuang lewat karya dan pengabdian,” katanya saat ditemui usai upacara peringatan Hari Pahlawan di Palu, Senin (10/11/2025).
Diah berbicara dengan nada pelan namun mantap. Di matanya, kepahlawanan bukan hanya milik mereka yang gugur di medan perang. Kepahlawanan, katanya, bisa lahir di mana saja—termasuk di dunia pariwisata, tempat orang-orang bekerja menjaga alam dan budaya dari kepunahan. Ia menyebut para pelaku wisata lokal sebagai pahlawan masa kini yang menjaga wajah Indonesia tetap elok di mata dunia.
Sulawesi Tengah, provinsi yang membentang dari Teluk Tomini hingga Selat Makassar itu, memiliki banyak cerita tentang perjuangan dan keteguhan. Diah tumbuh dengan kisah-kisah heroik dari para tokoh daerah yang menolak tunduk pada penjajah. Kisah itu, baginya, menjadi energi untuk membangun sektor pariwisata yang berakar pada sejarah dan budaya.
“Setiap daerah punya pahlawannya. Di sini, semangat juang itu tidak hanya ada di buku sejarah. Ia masih terasa dalam napas masyarakat, dalam adat, dalam cara orang menjaga laut dan hutan,” ujarnya.
Diah percaya, nilai kepahlawanan harus menjadi bagian dari cara pandang dalam mengelola pariwisata. Pariwisata yang ia bayangkan bukan sekadar menjual panorama, melainkan juga mengenalkan karakter masyarakat, memperkuat ekonomi lokal, dan melestarikan warisan budaya. “Kalau semua bergerak dengan semangat pengabdian, pariwisata tidak akan berhenti hanya pada kunjungan wisatawan, tapi menjadi gerakan sosial,” katanya.
Dalam pandangannya, keindahan Sulawesi Tengah bukan hanya tentang danau dan gunung, tetapi juga tentang manusia dan kisah di baliknya. Ia menyinggung nama-nama pelaku usaha kecil, pemandu wisata, hingga penenun tradisional yang tetap bertahan di tengah arus modernisasi. Mereka, kata Diah, adalah contoh nyata bahwa kepahlawanan bisa tumbuh dari ketulusan bekerja dan kecintaan terhadap tanah sendiri.
Di ruang kerjanya yang dipenuhi peta destinasi wisata, Diah menunjukkan foto-foto kegiatan pelatihan bagi masyarakat pesisir di Donggala dan Tolitoli. Wajah-wajah di foto itu tampak sederhana, tapi menyimpan harapan. “Mereka ini juga pahlawan,” katanya sambil tersenyum. “Mereka menjaga pantai dari sampah, menanam bakau, dan menyambut wisatawan dengan keramahan tanpa dibuat-buat.”
Ia lalu bercerita tentang sebuah kampung wisata di Lembah Napu, di mana warga bergotong royong memperbaiki jalan menuju situs megalitikum. Tak ada proyek besar, tak ada sorotan media. Hanya masyarakat yang percaya bahwa menjaga warisan leluhur adalah bagian dari rasa syukur. “Itu semangat pahlawan yang sesungguhnya,” ujar Diah.
Menurutnya, gotong royong yang diwariskan para pejuang kemerdekaan harus kembali menjadi roh dalam setiap program pembangunan daerah. “Pahlawan itu tidak pernah bekerja sendiri. Mereka berjuang bersama rakyat. Itulah yang harus kita hidupkan kembali,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa tantangan zaman kini tidak lagi berbentuk penjajahan fisik, melainkan cara berpikir yang mudah menyerah. Karena itu, Diah ingin agar Hari Pahlawan menjadi momentum untuk meneguhkan semangat kerja keras dan optimisme. “Kadang yang kita butuhkan bukan sekadar upacara, tapi kesadaran bahwa setiap langkah kecil kita bisa berarti besar,” ujarnya.
Diah menilai, dunia pariwisata saat ini berada di garis depan dalam membangun citra Indonesia. Di era digital, satu foto atau cerita tentang daerah bisa mempengaruhi pandangan dunia. Karena itu, menjaga nilai, etika, dan kearifan lokal menjadi penting. “Kalau kita hanya mengejar popularitas tanpa menjaga makna, kita kehilangan jati diri,” katanya.
Di sisi lain, ia juga menyoroti pentingnya peran generasi muda. Bagi Diah, anak-anak muda Sulawesi Tengah memiliki energi besar yang bisa mengubah wajah pariwisata. Mereka tumbuh dalam dunia digital, tetapi tetap punya tanggung jawab terhadap warisan budaya. “Saya senang melihat banyak anak muda yang mulai bangga mempromosikan desanya sendiri. Itu tanda bahwa mereka mulai menyadari bahwa cinta tanah air bisa diwujudkan lewat hal-hal sederhana,” ujarnya.
Diah berharap generasi muda tidak hanya mengagumi pahlawan masa lalu, tapi juga menjadikan mereka inspirasi untuk berkarya. Ia mencontohkan program pelatihan digital marketing untuk pelaku wisata muda yang digagas dinasnya. Program itu, menurutnya, adalah salah satu cara menyalurkan semangat juang ke dalam konteks kekinian. “Kita tidak lagi berperang dengan penjajah, tapi dengan kebodohan, kemalasan, dan sikap tidak peduli,” katanya.
Di sela perbincangan, Diah sempat menyebut nama beberapa tokoh nasional yang menginspirasi dirinya: Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nyak Dien. Namun ia menekankan bahwa setiap orang, laki-laki atau perempuan, punya ruang untuk menjadi pahlawan. “Kalau perempuan masa lalu berjuang membuka sekolah, perempuan masa kini bisa berjuang lewat pendidikan, ekonomi, dan kebudayaan,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal tantangan menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Dalam hal ini, Diah memandang pahlawan sejati adalah mereka yang berani menolak praktik merusak demi keuntungan sesaat. “Menjaga alam berarti menjaga masa depan anak-anak kita. Itu perjuangan yang tak kalah penting dari perang kemerdekaan,” katanya.
Diah menatap keluar jendela ruang kerjanya yang menghadap ke arah Teluk Palu. Langit sore tampak teduh, seperti menenangkan. Ia terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Kalau dulu para pahlawan berjuang agar kita merdeka, tugas kita sekarang adalah memastikan kemerdekaan itu punya makna.”
Menurutnya, makna kemerdekaan tidak bisa diukur dengan kemajuan ekonomi semata. Kemerdekaan harus dirasakan dalam bentuk keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat. “Kalau rakyat di desa-desa wisata bisa tersenyum karena hidupnya membaik, saya yakin para pahlawan di alam sana ikut tersenyum juga,” ucapnya.(Redaksi)

























Komentar