Oleh: Amin Idris
Setiap kali bulan November tiba, para pahlawan seakan bangkit kembali. Dalam seminar, diskusi, atau sekadar perbincangan di warung kopi.
Hari Pahlawan pun kembali diperingati dengan berbagai pola dan bentuk seremoni.
Kuburan para pahlawan dibersihkan, diperindah, dan ramai dikunjungi.
November menjadi berkah bagi para penjaga makam pahlawan.
Bahkan, tulisan ini pun lahir karena “latah” mengikuti kalender—karena memang ada Hari Pahlawan.
Namun sesungguhnya, peringatan Hari Pahlawan tahun ini terasa getir.
Rakyat masih mengeluh tentang sulitnya mencari penghidupan.
Tentang harga-harga yang tak terjangkau, biaya listrik yang terus naik, pendidikan yang makin mahal, dan kesulitan membayar iuran BPJS Kesehatan.
Menjelang musim hujan, rakyat kembali dihantui kecemasan rumahnya akan kebanjiran.
Mereka tidak lagi percaya pemimpinnya mampu mengatasi ancaman itu—apalagi meringankan penderitaan mereka.
Di atas keluhan itu, terdengar pula cacian yang lebih tajam.
Aktivis menyoroti para “badut politik” yang semakin lihai menari di panggung kekuasaan, sibuk mencari celah untuk menghindari sorot mata rakyat yang kian sayup.
Hari ini tertangkap, besok muncul lagi.
Makin keras diberantas, makin banyak yang ketahuan.
Mewabah, membudaya—itulah korupsi.
Para pemimpin politik yang seharusnya menjadi pahlawan bagi rakyatnya kini berubah wajah.
Ada yang menjadi monster menjijikkan. Ada yang menjadi pelawak yang tak lucu.
Mereka yang semestinya panutan kini justru kehilangan kepercayaan rakyat.
Jarak antara rakyat dan pemimpinnya pun makin lebar.
Namun, bagi pemimpin yang masih punya nurani, inilah saatnya menjadi pahlawan.
Siapa pun yang bergerak cepat, berpihak kepada rakyat, menampung keluhan dan menjawabnya dengan empati—akan disambut dengan rasa hormat.
Lihatlah Purbaya Yudi Sadewa.
Ia kini bak pahlawan di mata publik karena berani mengambil risiko demi rakyat, berbicara dan bertindak seirama dengan jeritan hati masyarakat.
Keberaniannya menolak kebijakan yang memberatkan rakyat, membuatnya dipercaya.
Ia menjadi tumpuan harapan di tengah kegelisahan bangsa.
Sebaliknya, pemimpin yang lari dari rakyatnya—yang takut menatap wajah penderitaan warganya—akan dimaki, bahkan dilupakan sejarah.
Pemimpin semacam itu memang pantas “disyahronikan” — hanya layak dikenang dalam satire politik.
Memang, secara hukum, gelar pahlawan hanya diberikan bagi mereka yang telah wafat.
Namun, sejatinya, kepahlawanan tidak mati bersama jasad.
Kepahlawanan adalah semangat dan teladan yang hidup dalam tindakan.
Kiai Noer Alie, misalnya.
Beliau telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional karena perjuangan dan pengorbanannya bagi negeri ini.
Namun, di mata umat, nama seperti Dr. Heri Suko Martono, yang terus menjaga dan mengembangkan Islamic Centre KH Noer Alie Bekasi, juga pahlawan.
Begitu pula Pak Roesmin, yang dengan dedikasi dan keikhlasannya tetap setia pada perjuangan umat.
Mereka semua adalah pahlawan—bukan karena penghargaan negara, tetapi karena pengabdian tulus mereka kepada rakyat.
Siapa pun yang membela negara, berkorban untuk rakyat, dan berkarya bagi kemanusiaan, layak disebut pahlawan.
Karena memperingati Hari Pahlawan sejatinya adalah membangkitkan semangat kepahlawanan bagi yang masih hidup.
Lakukan sesuatu dengan pikiranmu untuk bangsa ini.
Berbuatlah.
Berilah pembelaan setinggi-tingginya untuk kebenaran.
Sebab jika di zaman seperti ini seorang pemimpin masih takut berdiri di pihak rakyat, masih menghitung untung rugi dalam kebijakan publik, atau sibuk melakukan studi banding tanpa arah—maka rakyat akan kehilangan kesabaran.
Yang dibutuhkan rakyat saat ini bukan seremonial atau janji, melainkan jalan keluar nyata dari penderitaan.
Kita memerlukan pemimpin yang membangun dirinya menjadi pahlawan untuk rakyatnya—bukan pahlawan di atas panggung, tetapi pahlawan di tengah rakyat.
Selamat Hari Pahlawan.
Wallahu a‘lam.














Komentar