Jakarta, MediaPatriot.co.id – 11 November 2025 — Dalam momentum memperingati Hari Pahlawan 10 November, Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (BEM KM UMP) menggelar Mimbar Demokrasi Nasional di depan Istana Negara Republik Indonesia. Aksi ini menjadi simbol perlawanan intelektual terhadap kemunduran nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan di bawah satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran.
Kegiatan tersebut diawali dengan refleksi perjuangan pahlawan bangsa, kemudian dilanjutkan dengan orasi kebangsaan bertajuk “Dari Kampus untuk Demokrasi, Dari Mahasiswa untuk Keadilan.” Dalam agenda itu, BEM KM UMP juga menyerukan hasil Kajian Akademik Satu Tahun Evaluasi Pemerintahan Prabowo–Gibran, yang menyoroti lima isu utama: kebebasan pers, reformasi DPR, kriminalisasi aktivis, militerisme, dan janji 19 juta lapangan kerja yang dinilai belum terwujud secara nyata.
Presiden Mahasiswa BEM KM UMP, Yoga Dwi Yuwono, dalam orasinya menyampaikan bahwa gerakan ini merupakan bentuk tanggung jawab moral mahasiswa sebagai penjaga nurani rakyat dan benteng terakhir demokrasi.
“Kami datang bukan untuk melawan negara, tetapi untuk mengingatkan pemerintah agar kembali berpihak kepada rakyat. Demokrasi bukan sekadar slogan, tapi ruang hidup yang harus dijaga bersama. Bila ruang itu dipersempit, maka mahasiswa akan menjadi pengeras suara bagi kebenaran,” tegas Yoga Dwi Yuwono di tengah orasi.
Selain menyuarakan kritik terhadap kondisi demokrasi nasional, Yoga juga menegaskan pentingnya pendidikan sebagai pilar utama kemajuan bangsa.
“Bangsa yang besar tidak hanya dibangun oleh kekuasaan, tapi oleh kecerdasan dan kesadaran rakyatnya. Pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati. Oleh karena itu, negara harus hadir menjamin akses pendidikan yang merata, berkualitas, dan berkeadilan bagi seluruh anak bangsa,” ujarnya.
Dalam semangat Hari Pahlawan, BEM KM UMP menegaskan komitmen moral dan intelektual mahasiswa untuk mengawal keadilan sosial, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan hasil kajian akademik dan refleksi terhadap kondisi bangsa, kami menyampaikan tujuh sikap utama sebagai berikut:
1. Pemerataan Kesejahteraan dan Lapangan Kerja.
Mendesak pemerintah memperkecil kesenjangan ekonomi antarwilayah dan menciptakan lapangan kerja yang layak serta berkeadilan bagi masyarakat kecil.
2. Pengendalian Harga dan Ketahanan Pangan.
Menuntut kebijakan stabilisasi harga pokok, perlindungan terhadap petani dan nelayan lokal, serta penguatan kemandirian pangan nasional.
3. Pemberantasan Korupsi dan Monopoli Usaha.
Mendorong penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi, kolusi, dan monopoli ekonomi demi terciptanya kompetisi usaha yang adil.
4. Pendidikan Gratis dan Berkualitas untuk semua rakyat.
Menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar warga negara yang harus dijamin negara secara merata, gratis, dan bermutu hingga ke pelosok.
5. Kesejahteraan Guru dan Tenaga Pendidik.
Menuntut peningkatan gaji, tunjangan, dan fasilitas bagi guru dan dosen agar dapat bekerja profesional dan bermartabat.
6. Penghentian Eksploitasi Alam yang Merusak.
Mendesak pemerintah menghentikan praktik tambang dan deforestasi yang merusak ekosistem serta menegakkan hukum lingkungan secara tegas.
7. Penghentian Peran Militer dalam Urusan Sipil.
Menolak segala bentuk militerisasi ruang sipil dan menegaskan pentingnya supremasi sipil sebagai prinsip dasar demokrasi.

Aksi damai ini ditutup dengan pembacaan Pernyataan Sikap Nasional Mahasiswa Muhammadiyah, doa bersama, dan lantunan seruan perjuangan:
“Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Perempuan yang Melawan!”
Grisaldi, Presiden BEM FKIP UMP, menyoroti keprihatinan moral terhadap keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.
“Ironis, di tengah krisis moral dan keadilan, negara justru mengabadikan nama seorang penguasa yang meninggalkan luka sejarah. Gelar pahlawan semestinya diberikan kepada mereka yang menegakkan kemanusiaan, bukan kepada sosok yang pernah menindasnya,” tegas Grisaldi dengan nada lantang.
Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut mencederai memori kolektif bangsa dan mengabaikan penderitaan korban pelanggaran HAM di masa lalu.
Di bawah langit Jakarta yang mendung, suara mahasiswa Purwokerto menggema di depan Istana Negara—menegaskan bahwa semangat kepahlawanan bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi tentang keberanian berpikir dan bersuara untuk kebenaran serta kemajuan bangsa.
(Red Irwan)









Komentar