Abstrak
Urbanisasi yang cepat di berbagai negara berkembang menyebabkan perubahan signifikan dalam lingkungan dan gaya hidup masyarakat perkotaan. Kepadatan penduduk, polusi, perubahan pola makan, dan kurangnya akses ke ruang hijau berdampak pada kesehatan fisik dan mental warga kota. Artikel ini meninjau literatur ilmiah terbaru mengenai dampak urbanisasi terhadap kesehatan masyarakat, menyoroti kasus di kota besar Indonesia dan Asia Tenggara, serta menyajikan strategi adaptasi dan mitigasi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan.
Pendahuluan
Urbanisasi merupakan fenomena global yang dipercepat oleh industrialisasi, migrasi, dan pertumbuhan ekonomi. Menurut UN DESA (2022), lebih dari 55% populasi dunia tinggal di kota, dan angka ini diperkirakan mencapai 68% pada tahun 2050. Kota-kota di negara berkembang, termasuk Indonesia, mengalami urbanisasi cepat yang seringkali tidak diimbangi dengan perencanaan kota yang memadai.
Dampak urbanisasi terhadap kesehatan masyarakat bersifat multifaktorial. Kepadatan penduduk meningkatkan risiko penyakit menular, polusi udara dan air menimbulkan penyakit pernapasan dan gastrointestinal, serta gaya hidup sedentari menyebabkan peningkatan obesitas dan penyakit kronis. Selain itu, urbanisasi memengaruhi kesehatan mental melalui stres, isolasi sosial, dan tekanan ekonomi.
Artikel ini membahas lima dampak utama urbanisasi terhadap kesehatan masyarakat perkotaan, disertai strategi adaptasi yang dapat diterapkan oleh pemerintah, komunitas, dan individu.
Dampak Urbanisasi terhadap Kesehatan Masyarakat
1. Penyakit menular dan sanitasi lingkungan
Kepadatan penduduk dan fasilitas sanitasi yang terbatas meningkatkan risiko penularan penyakit menular, termasuk diare, tifus, tuberkulosis, dan influenza. Sistem air bersih yang kurang memadai, saluran pembuangan yang tersumbat, serta sanitasi lingkungan yang buruk menjadi faktor utama penyebaran penyakit.
Studi di Jakarta menunjukkan bahwa daerah padat penduduk dengan sanitasi rendah memiliki insiden diare 3–5 kali lebih tinggi dibandingkan daerah dengan infrastruktur lebih baik. Upaya peningkatan sanitasi, pengelolaan air bersih, dan edukasi kesehatan masyarakat menjadi kunci untuk mengurangi risiko penyakit menular di kota.
2. Polusi udara dan penyakit pernapasan
Urbanisasi meningkatkan penggunaan kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran energi fosil, sehingga meningkatkan polusi udara. Partikel halus (PM2.5), nitrogen dioksida (NO₂), dan sulfur dioksida (SO₂) berdampak pada kesehatan pernapasan, meningkatkan kasus asma, bronkitis, dan PPOK.
Data WHO (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 90% penduduk perkotaan di negara berkembang terpapar polusi udara di atas ambang batas yang direkomendasikan. Kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta dan Surabaya, mencatat lonjakan kasus penyakit pernapasan pada musim kemarau akibat konsentrasi PM2.5 tinggi.
3. Gangguan kesehatan kronis akibat gaya hidup urban
Urbanisasi mendorong gaya hidup sedentari, konsumsi makanan olahan tinggi kalori, dan stres pekerjaan. Hal ini berkontribusi pada peningkatan obesitas, hipertensi, diabetes tipe 2, dan penyakit jantung.
Studi di Bangkok dan Kuala Lumpur menunjukkan bahwa lebih dari 40% dewasa perkotaan mengalami obesitas atau kelebihan berat badan, dengan prevalensi hipertensi dan diabetes meningkat seiring urbanisasi. Promosi pola hidup sehat, olahraga, dan konsumsi makanan bergizi menjadi strategi penting untuk mengurangi risiko penyakit kronis.
4. Kesehatan mental dan stres perkotaan
Urbanisasi membawa tekanan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang memengaruhi kesehatan mental. Pola hidup cepat, kemacetan, kebisingan, dan tekanan pekerjaan meningkatkan risiko stres, depresi, dan gangguan kecemasan.
Penelitian di Jakarta dan Manila menunjukkan bahwa penduduk kota dengan kepadatan tinggi melaporkan tingkat stres 1,5–2 kali lebih tinggi dibandingkan penduduk di daerah suburban. Penyediaan ruang hijau, kegiatan rekreasi, dan dukungan sosial dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup perkotaan.
5. Akses terhadap layanan kesehatan
Urbanisasi cepat seringkali tidak diimbangi dengan fasilitas kesehatan yang memadai. Rumah sakit, klinik, dan tenaga medis terkonsentrasi di pusat kota, sehingga penduduk di pinggiran atau permukiman informal menghadapi kesulitan akses layanan kesehatan.
Studi di Jakarta Utara menunjukkan bahwa keterbatasan akses menyebabkan penundaan diagnosis dan pengobatan, sehingga memperburuk kondisi kesehatan kronis. Pengembangan fasilitas kesehatan, telemedicine, dan mobil klinik menjadi solusi untuk meningkatkan akses layanan kesehatan di kawasan urban padat.
Strategi Mitigasi dan Adaptasi
- Perencanaan kota dan pembangunan infrastruktur
Membangun kota yang ramah lingkungan dengan tata ruang terencana, drainase baik, ruang hijau, dan transportasi publik efisien untuk mengurangi risiko penyakit dan polusi. - Pengelolaan sanitasi dan air bersih
Meningkatkan sistem sanitasi, pengolahan air limbah, dan distribusi air bersih untuk mencegah penyebaran penyakit menular. - Promosi gaya hidup sehat
Edukasi masyarakat tentang pola makan sehat, olahraga teratur, dan manajemen stres untuk mengurangi penyakit kronis. - Pengendalian polusi dan transportasi berkelanjutan
Mengurangi emisi kendaraan bermotor, mempromosikan transportasi publik, kendaraan listrik, dan pengelolaan industri ramah lingkungan. - Peningkatan layanan kesehatan
Menyediakan fasilitas kesehatan yang merata, telemedicine, dan program kesehatan komunitas untuk mendukung deteksi dini dan pengobatan penyakit. - Pengembangan ruang hijau dan rekreasi
Taman kota, jalur pejalan kaki, dan area olahraga dapat meningkatkan aktivitas fisik, mengurangi stres, dan memperbaiki kualitas udara di perkotaan.
Kesimpulan
Urbanisasi memiliki dampak kompleks terhadap kesehatan masyarakat perkotaan, meliputi risiko penyakit menular, gangguan pernapasan, penyakit kronis, kesehatan mental, dan akses layanan kesehatan. Strategi mitigasi dan adaptasi yang efektif mencakup perencanaan kota, pengelolaan sanitasi, promosi gaya hidup sehat, pengendalian polusi, peningkatan fasilitas kesehatan, dan penyediaan ruang hijau.
Dengan penerapan strategi ini, masyarakat perkotaan dapat menghadapi tantangan urbanisasi, meminimalkan risiko kesehatan, dan meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan. Kolaborasi pemerintah, komunitas, dan sektor swasta menjadi kunci keberhasilan pembangunan kota yang sehat.
Referensi
- UN DESA. (2022). World Urbanization Prospects 2022. United Nations Department of Economic and Social Affairs.
- WHO. (2021). Urban Health and Environment. Geneva: World Health Organization.
- United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat). (2020). State of the World’s Cities. Nairobi: UN-Habitat.
- Eze, I. C., et al. (2015). Urban air pollution and health in developing countries. Environmental Research, 136, 1–12.
- Tiwari, S., & Kumar, R. (2019). Urbanization and non-communicable diseases in Asia. Journal of Urban Health, 96(4), 546–556.
- Susilo, Y., et al. (2018). Health impacts of urbanization in Indonesia: Evidence from Jakarta. Asia-Pacific Journal of Public Health, 30(5), 441–452.






Komentar