Selasa|25 November 2025|Pukul|19:50|WIB
Mediapatriot.co.id|Mandailing Natal – Sumatera Utara|Berita Terkini – Deretan bencana yang menghantam Kabupaten Mandailing Natal sejak 22 hingga 25 November 2025 kembali menyingkap kenyataan getir: daerah ini seolah dibiarkan berdiri sendiri menghadapi amukan alam.
Hujan deras yang tak kunjung reda memicu banjir, longsor, hingga puting beliung di berbagai kecamatan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Madina mencatat sedikitnya delapan titik terdampak, meliputi permukiman warga, infrastruktur publik, fasilitas pendidikan, hingga lahan pertanian yang menjadi sumber penghidupan ribuan keluarga.
Derasnya arus banjir merendam rumah warga hingga setinggi pinggang, sementara material longsor menutup sejumlah akses permukiman. Di kawasan Pantai Barat Sumatera Utara – mulai dari Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Selatan, hingga Mandailing Natal – bencana datang beruntun.
Jalur komunikasi terputus, akses jalan nasional lumpuh, dan empat warga dilaporkan meninggal dunia di Tapanuli Tengah akibat banjir bandang dan tanah longsor.

Namun di tengah derita masyarakat yang terus mengulang tiap tahun, pertanyaan besar kembali muncul: di mana keberpihakan pemerintah daerah dan pusat terhadap keselamatan rakyatnya?
Peringatan Alam yang Tak Pernah Diindahkan
Banjir dan longsor di Madina bukan kali pertama terjadi, bahkan sudah berulang menjadi “agenda tahunan” yang ironis.
Curah hujan ekstrem memang tak dapat dihentikan, tetapi dampaknya dapat diminimalkan bila mitigasi berjalan sebagaimana mestinya.
Sayangnya, yang tampak justru pola kebijakan reaktif – menunggu bencana datang, baru tergopoh-gopoh menurunkan bantuan.
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sebagian besar sudah kritis, hutan lindung yang terus tergerus aktivitas ilegal, serta minimnya pengerjaan normalisasi sungai adalah potret lemahnya ketahanan ekologis daerah.
Pemerintah provinsi dan kabupaten semestinya telah membaca pola ini sejak lama.

Tetapi yang berlangsung di lapangan justru sebaliknya: perencanaan jangka panjang kalah oleh proyek-proyek jangka pendek yang lebih “ramai” di panggung politik.
Masyarakat Menjadi Tumbal Kebijakan yang Tidak Tegas
Di Desa-desa yang terisolasi, warga harus mengungsi tanpa kepastian kapan bisa kembali ke rumah.
Anak-anak terganggu sekolahnya, petani kehilangan lahan siap panen, dan banyak pedagang kecil terpaksa menutup usaha karena peralatan mereka hancur diterjang banjir.
Kepedihan ini kontras dengan narasi pejabat yang rutin menyampaikan “belasungkawa” dan “instruksi cepat tanggap”, sementara langkah konkret yang mengurangi risiko bencana masih sulit ditemukan.
Pemerintah pusat pun tak luput dari kritik: koordinasi penanganan bencana di kawasan pantai barat Sumatera Utara dinilai lamban,
padahal wilayah ini secara geografis jelas merupakan zona rawan dengan intensitas risiko tinggi setiap tahun.
Masyarakat Madina, Tapanuli Selatan, hingga Tapanuli Tengah seolah hanya diingat ketika masa kampanye tiba.
Tetapi ketika banjir bandang menghanyutkan harta benda mereka, suara-suara rakyat mendadak kehilangan gaung di ruang kebijakan.
Infrastruktur yang Rentan dan Janji yang Menguap
Akses jalan nasional yang terputus menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di kawasan ini masih jauh dari kata tangguh.
Jalan-jalan yang menjadi nadi ekonomi terputus begitu saja oleh longsor, tanpa sistem perkuatan lereng yang memadai.
Pertanyaannya, berapa kali lagi banjir harus merendam kota-kota kecil ini agar pemerintah provinsi dan pusat mengakui bahwa wilayah Pantai Barat membutuhkan intervensi serius, bukan sekadar kunjungan simbolis?
Saatnya Pemerintah Menjawab Secara Tuntas, Bukan Menunda
Melihat eskalasi bencana tahun ini, masyarakat menuntut:
Mitigasi struktural dan non-struktural yang konkret, bukan sekadar rapat koordinasi tanpa hasil.
Penegakan hukum terhadap perusakan hutan yang menyebabkan DAS menjadi kritis.
Normalisasi sungai dan pembangunan tanggul permanen di titik rawan banjir.
Peningkatan kapasitas BPBD serta perbaikan sistem peringatan dini.
Pembangunan infrastruktur tahan bencana di seluruh kawasan Pantai Barat.

Masyarakat Madina dan daerah tetangga tidak menuntut kemewahan.
Mereka hanya ingin hidup aman – tanpa ketakutan bahwa hujan semalam dapat menghapus seluruh masa depan mereka.
Ketika Warga Bertahan, Pemerintah Harus Bertindak
Bencana yang berulang ini adalah cermin paling jujur dari lemahnya tata kelola lingkungan dan kesiapsiagaan di Sumatera Utara.
Bila pemerintah daerah dan pusat terus menunda tindakan besar, maka Mandailing Natal dan wilayah Pantai Barat hanya akan terus menjadi korban dari kelalaian kolektif.
Kini masyarakat menunggu jawaban:
Apakah pemerintah siap membuktikan bahwa keselamatan rakyat lebih penting daripada kepentingan politik?
Atau bencana ini akan kembali menjadi headline tahunan – tanpa perubahan yang berarti?
Warga telah berulang kali bersuara.
Kini giliran pemerintah menjawab dengan kerja, bukan lagi janji.
(Redaksi|Mediapatriot.co.id|Ramlan)






















Komentar