Rabu|26 November 2025|Pukul|10:05|WIB
Mediapatriot.co.id|LANGKAT – Sumatera Utara|Berita Terkini – Polemik konservasi mangrove di Desa Tapak Kuda, Kabupaten Langkat Timur Laut, memasuki babak paling genting.
Upaya pelestarian yang seharusnya berdiri di atas komitmen ilmiah dan perlindungan ekologis, justru terjerembab ke dalam kubangan tarik-menarik kepentingan politik keluarga.
Di tengah situasi itu, hukum terkesan dikebiri, dan konservasi berubah menjadi arena dominasi kuasa.

Penebangan mangrove yang sebelumnya disebabkan bencana alam, belakangan berubah menjadi legitimasi sepihak melalui surat desa.
Ironi itu memicu kemarahan publik:
ketika aturan dilemahkan, lingkungan menjadi korban paling pertama.
Nama Kepala Desa Tapak Kuda, Imran alias Ucok, mencuat sebagai tokoh sentral polemik. Meski berstatus terdakwa kasus korupsi sebesar Rp787 miliar, ia disebut tetap memainkan peran dominan dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Dugaan publik menguat bahwa Imran mengangkat adik, ipar, mertua, serta perangkat desa menjadi Mitra Polisi Kehutanan, menciptakan lingkaran kuasa yang ironis—pihak yang diduga merusak, justru diberi mandat menjaga.
Dari Konservasi Menjadi Kartel
Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Karang Gading, yang secara hukum dilindungi ketat, justru dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanpa hambatan berarti.
Padahal, Perdirjen KSDAE No. P.6/2018 secara tegas melarang aktivitas yang mengubah fungsi kawasan konservasi. Namun di Tapak Kuda, larangan itu seakan berubah menjadi restu, dan konservasi menjelma sistem tertutup yang dikendalikan segelintir orang, Rabu (26/11/2025).

BKSDA Sumut Tegaskan Pelanggaran Regulasi
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Stabat, Bobby Nopandry S.Hut, MA, menegaskan bahwa Tapak Kuda berada pada kawasan konservasi resmi.
Landasan hukumnya jelas: SK Menteri Pertanian No. 811/1980 dan diperkuat SK Menteri Kehutanan No. 5348/2014.
Bobby menggarisbawahi bahwa mekanisme kemitraan konservasi hanya bisa dibentuk melalui kesepakatan formal antara BBKSDA dan masyarakat, sesuai Permenhut P.85/2014 serta PermenLHK P.44/2017. Artinya, SK Kepala Desa tidak memiliki dasar hukum apa pun untuk menunjuk kelompok mitra konservasi.

Dengan demikian, legitimasi kelompok yang dibentuk Kepala Desa Imran dinilai tidak lebih dari produk administratif yang cacat hukum.
KTH Tumbuh Subur: Kami Disabotase
Kelompok Tani Hutan (KTH) Tumbuh Subur Tapak Kuda – pemegang legalitas resmi dari Kementerian LHK dan Kemenkumham atas 244 hektare lahan konservasi – mengaku menjadi korban sabotase politik internal desa.
Perwakilan KTH, Wanda S., menyampaikan bahwa isu dualisme kelompok sengaja diciptakan untuk melemahkan legitimasi kelompoknya. “Sejak SK Kepala Desa terbit, kami tidak pernah menerima pemberitahuan apa pun.
Komunikasi hanya dibangun dengan kelompok yang menguasai lahan melalui cara-cara manipulatif,” ujarnya.
Wanda menyebut bahwa tanpa perlindungan hukum, lahan konservasi terancam dialihkan ke pihak-pihak yang memiliki kedekatan khusus dengan Kades Imran dan Kepala Resort SM Karang Gading–Langkat Timur Laut Dua, Rahmadi.
Cacat Administrasi dan Dugaan Nepotisme
Penerbitan SK Kepala Desa Tapak Kuda dinilai cacat prosedur dan sarat manipulasi.
Wanda memaparkan sejumlah kejanggalan:Tidak adanya rapat anggota sebagaimana diwajibkan.
Tidak ada surat pengunduran diri ketua sebelumnya.
Daftar hadir dikumpulkan dari rumah ke rumah, bukan melalui forum resmi.
Pengurus baru yang tertera dalam SK bukan anggota sah, bahkan ada yang tak mampu membaca dan menulis.
“Ini mentalitas seorang penguasa yang merasa bisa mengubah segalanya dengan selembar surat.
Padahal banyak anggota yang telah mengorbankan tenaga, waktu, dan uang untuk memperoleh legalitas KLHK serta menanam mangrove sejak awal,” tegasnya.
Lebih jauh, Wanda mengungkap adanya ancaman dari oknum internal BKSDA Sumut untuk membatalkan perjanjian kerja sama konservasi.
Ironisnya, ancaman itu ditujukan kepada kelompok sah, sementara pihak yang diduga menjadi biang konflik dibiarkan bebas beraktivitas.
“Kami menilai ini bentuk ketidakadilan yang mencederai esensi kemitraan konservasi,” ujarnya.
Tuntutan Masyarakat Tapak Kuda
Warga kini menyusun dua tuntutan konkret: Kepala Balai Konservasi Sumut diminta segera mengevaluasi kinerja Kepala Resort Rahmadi.
Aparat penegak hukum harus menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang, manipulasi administrasi, praktik nepotisme, dan perusakan ekosistem.
Dalam kondisi penuh ketegangan ini, masyarakat mempertanyakan arah masa depan konservasi di desa mereka.
“Apakah konservasi kini hanya panggung politik keluarga? Apakah hukum hanya menjadi figuran yang bisa ditebang oleh selembar SK desa?” tanya Wanda, menutup kesaksiannya dengan getir.
Polemik ini bukan sekadar perselisihan administratif.
Ia adalah cermin retak dari tata kelola lingkungan yang terancam tunduk pada politik kekerabatan.
Jika tidak segera dihentikan, yang hancur bukan hanya mangrove – melainkan masa depan ekologis Langkat Timur Laut.
(Redaksi|Mediapatriot.co.id|Ramlan)













Komentar