Disusun oleh : Catharine Geraldy Cokro
NIM : 141251136
Dosen Pengampu : Rini Hamsidi
Universitas : Universitas Airlangga
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Tahun : 2025
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang-Undang pada 18 November 2025 memicu gelombang protes, kritik, dan kecaman dari berbagai kalangan masyarakat. Meski DPR menegaskan bahwa undang-undang baru ini akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, sejumlah kelompok masyarakat menilai bahwa proses pengesahan berlangsung terlalu cepat dan kurang melibatkan publik secara luas. Aksi demonstrasi mahasiswa di gedung DPR beberapa hari setelah pengesahan menjadi gambaran kegelisahan publik terhadap beberapa pasal yang dinilai berpotensi multitafsir.
Ketua DPR, Puan Maharani, menyampaikan bahwa revisi RUU KUHAP telah melalui proses selama dua tahun dengan melibatkan akademisi dan praktisi hukum. Namun, beberapa organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI dan PBHI menyampaikan pandangan berbeda. Mereka menilai proses penyusunan masih minim partisipasi publik dan beberapa masukan tidak tertampung dalam draft akhir. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait pasal-pasal tertentu yang dianggap dapat memberikan kewenangan lebih besar kepada aparat penegak hukum.
Beberapa pasal yang menjadi perhatian publik antara lain:
- Pasal 23, terkait akuntabilitas pelaporan tindak pidana yang dinilai belum memiliki penjelasan rinci.
- Pasal 85–106, yang mengatur upaya paksa namun dianggap belum memiliki batasan prosedural yang jelas.
- Pasal 85–88, 222, dan 224–225, yang dinilai memiliki standar pembuktian yang belum sepenuhnya tegas.
- Pasal 74–83, yang menyamakan restorative justice dengan diversi, meskipun secara konsep kedua istilah tersebut memiliki perbedaan.
Ketua Umum PBHI, Julius Ibrani, menilai bahwa beberapa pasal dalam RUU KUHAP dapat berdampak pada ruang kebebasan warga negara apabila tidak diawasi dengan baik. Kekhawatiran tersebut muncul karena perluasan kewenangan aparat, terutama dalam proses penyidikan, seperti penyadapan digital, pengambilan data elektronik, dan pembekuan rekening. Beberapa prosedur dianggap memerlukan pengaturan yang lebih ketat agar tetap sejalan dengan prinsip perlindungan hak asasi manusia.
Sebelumnya, mekanisme penyidikan memerlukan izin pengadilan atau prosedur tertentu. Namun dalam aturan baru, aparat dinilai memiliki ruang lebih luas untuk melakukan tindakan penyidikan. Sejumlah pakar menilai bahwa kondisi ini perlu diperjelas agar tidak bertentangan dengan prinsip due process of law, yaitu bahwa setiap warga negara dianggap tidak bersalah sebelum ada pembuktian yang sah dan adil.
Beberapa kelompok masyarakat memandang bahwa RUU KUHAP belum sepenuhnya memperkuat posisi warga negara dalam sistem peradilan. Ketiadaan batasan yang lebih tegas antara penyelidikan dan penyidikan menjadi salah satu kritik yang banyak disampaikan. Dalam konteks demokrasi, peraturan yang terlalu luas tanpa pengawasan dapat berpotensi digunakan secara tidak proporsional.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan bahwa protes sebagian masyarakat muncul karena adanya misinformasi. Ia menegaskan bahwa pengesahan RUU KUHAP dilakukan untuk menjawab kebutuhan pembaruan sistem peradilan. Namun pernyataan tersebut masih menuai tanggapan dari sejumlah akademisi dan organisasi masyarakat sipil yang menilai perlunya dialog lebih terbuka.
Pakar hukum dari YLBHI, M. Isnur, menilai bahwa implementasi undang-undang ini perlu dikaji kembali secara mendalam. Menurutnya, masyarakat memerlukan penjelasan yang lebih terbuka mengenai pasal-pasal yang dinilai sensitif. Ia mendorong pemerintah membuka ruang dialog publik sebelum undang-undang diterapkan sepenuhnya.
Beberapa ahli hukum, termasuk dari UNSOED, menyarankan agar publik melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap sejumlah pasal yang dianggap multitafsir. Menurut mereka, kepastian hukum sangat penting bagi perlindungan hak warga negara.
Pada dasarnya, pengesahan RUU KUHAP diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat sistem hukum yang lebih modern, transparan, dan akuntabel. Namun jika terdapat pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan interpretasi beragam, maka perlu dilakukan evaluasi bersama. Prinsip dasar demokrasi adalah hukum yang melindungi rakyat dan memberikan ruang partisipasi publik dalam setiap pembentukan regulasi.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah undang-undang benar-benar berpihak kepada warga negara atau masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut. Jika proses revisi dilakukan secara terbuka dan partisipatif, maka RUU KUHAP dapat menjadi landasan hukum yang lebih kuat dan adil bagi seluruh masyarakat.













Komentar