Rabu|03 Desember 2025|Pukul|14:50|WIB
Mediapatriot.co.id|Aceh|Indonesia – Dari balik jendela pesawat yang melintasi langit Tanah Rencong, hamparan daratan Aceh yang biasanya hijau kini diselimuti warna kelam.
Genangan air menutupi permukiman, aliran sungai meluap tak terbendung, dan serpihan rumah warga terhanyut mengikuti arus yang mengamuk.
Gambaran itu bukan sekadar pemandangan dari ketinggian, melainkan wajah duka sebuah provinsi yang tengah berjuang melewati salah satu bencana terburuk dalam beberapa tahun terakhir.
Di bawah sana, ribuan warga Aceh berdiri di antara puing dan lumpur, menunggu harapan datang melalui jalan darat, laut, maupun udara.
Wajah-wajah tabah itu, dengan mata yang lelah namun tetap menyala oleh harapan, menjadi saksi bisu bagaimana alam kembali menguji keteguhan masyarakat di Bumi Serambi Mekkah.
Rumah Hanyut, Desa Tenggelam, dan Rasa Kehilangan yang Menganga
Di sejumlah wilayah paling terdampak—mulai dari Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, hingga Aceh Barat – ratusan rumah hanyut terbawa arus. Fasilitas umum, jembatan desa, hingga akses jalan yang biasa menjadi nadi kehidupan sehari-hari, kini rusak parah atau hilang sama sekali.
Warga mencari sisa-sisa harta benda yang mungkin masih bisa diselamatkan, namun banyak pula yang hanya mampu berdiri pasrah memandang titik-titik yang dulu menjadi tempat mereka membangun hidup.
Mereka yang selamat kini mengungsi di tenda-tenda darurat, menunggu bantuan datang sambil menahan dingin, lapar, dan cemas.
Anak-anak mencoba tersenyum di pangkuan orang tua, meski trauma diam-diam mengintai. Di antara doa yang terucap lirih, ada rasa kehilangan yang sulit digambarkan – karena sebagian dari mereka bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga keluarga.
Duka yang Menyentuh Seluruh Aneuk Nanggroe
Aceh kembali berduka. Dari meunasah hingga masjid besar, dari pelosok kampung hingga pusat kota, lantunan doa tak henti dipanjatkan untuk para korban yang berpulang.
Al-Fatihah bergema di malam-malam yang dingin, membawa air mata yang jatuh diam-diam di tengah kepasrahan.
Duka Aceh bukan hanya milik warga yang terdampak langsung, tetapi milik seluruh Aneuk Nanggroe. Solidaritas mengalir dari berbagai penjuru.
Relawan, lembaga kemanusiaan, organisasi pemuda, hingga komunitas diaspora Aceh di perantauan, bergerak serentak membawa bantuan logistik, pakaian, obat-obatan, dan harapan baru.
Meski begitu, jalan pemulihan tidak akan mudah.
Banjir dan longsor yang menerjang sejak beberapa hari terakhir telah meninggalkan kerusakan infrastruktur besar, memutus jalur distribusi bantuan, dan menimbulkan tantangan besar bagi pemerintah daerah, TNI–Polri, BNPB, dan seluruh unsur yang terlibat dalam operasi kemanusiaan.
Dari Langit Aceh, Harapan Itu Masih Ada
Pemandangan dari jendela pesawat pada hari-hari ini memang menyayat hati.
Luka Aceh terlihat jelas, menganga dan dalam.
Namun di balik reruntuhan itu, Aceh selalu memiliki sesuatu yang tidak pernah padam: ketabahan.
Di tanah yang pernah hancur oleh tsunami dua dekade lalu tetapi bangkit kembali dengan kekuatan luar biasa, semangat serupa kini kembali diuji.
Warga Aceh percaya bahwa bencana bukan akhir, melainkan ujian yang mengasah ketegaran dan memperkokoh ikatan di antara sesama.
Harapan itu datang dari banyak arah – dari relawan yang memikul karung bantuan di pundak, dari para tenaga medis yang tak kenal lelah, dari aparat yang berjibaku membuka akses jalan, dari donasi masyarakat, dan dari doa-doa yang tak pernah berhenti terucap.
Doa untuk Para Korban
Untuk para korban yang berpulang dalam musibah ini, Aceh mengirimkan doa terbaik. Al-Fatihah, dengan penuh ketulusan dan cinta, menjadi penghormatan terakhir sekaligus penguat bagi keluarga yang ditinggalkan.
Semoga Aceh lekas pulih.
Semoga setiap luka perlahan tertutup oleh solidaritas dan gotong royong. Dan semoga Bumi Tanah Rencong kembali berdiri kokoh – seperti selalu yang ia lakukan – bersama doa seluruh Aneuk Nanggroe yang tak pernah berhenti mencintainya.
(Redaksi|Mediapatriot.co.id|Ramlan)



















Komentar