Disusun Oleh:
Naurah Bivita Wahyuningrum
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir, pembahasan mengenai kesehatan mental semakin sering muncul di ruang publik, terutama melalui media sosial. Berbagai platform dipenuhi dengan cerita tentang kecemasan, burnout, overthinking, hingga kelelahan emosional. Kutipan penyemangat dan konten edukasi psikologi tersebar luas dan mudah diakses oleh siapa saja. Sekilas, fenomena ini tampak sebagai kemajuan karena stigma terhadap kesehatan mental mulai berkurang. Namun, di balik meningkatnya perhatian tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah hal ini benar-benar mencerminkan kesadaran, atau justru sekadar mengikuti tren?
Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 9,8 persen penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional. Angka ini menegaskan bahwa isu kesehatan mental bukan persoalan sepele. Oleh karena itu, penting untuk melihat fenomena ini secara lebih kritis dan berimbang.
ISI
Kesehatan Mental dalam Bingkai Media Sosial
Media sosial memiliki peran besar dalam membentuk cara masyarakat memandang kesehatan mental. Emosi yang kompleks sering kali disederhanakan menjadi teks singkat, kutipan estetik, atau bahkan meme. American Psychological Association (2020) menyebutkan bahwa bentuk ekspresi ini dapat membantu individu merasa lebih berani untuk berbagi cerita. Namun, di sisi lain, penyederhanaan ini berpotensi menimbulkan pemahaman yang keliru.
Fenomena Self-Diagnosis
Dalam kehidupan sehari-hari, semakin banyak individu yang dengan mudah melabeli dirinya mengalami gangguan mental tertentu. Ada yang menyebut dirinya depresi karena tugas menumpuk, atau mengaku mengalami anxiety hanya karena gugup saat presentasi. Padahal, stres dan rasa gugup merupakan reaksi manusiawi yang normal. Penggunaan label secara sembarangan dapat memengaruhi cara seseorang memandang diri sendiri dan kondisi emosionalnya.
Penelitian Cahyaningsih dan rekan (2019) menunjukkan bahwa penggunaan gawai secara berlebihan dapat memicu stres serta kebingungan dalam mengelola emosi. Hal ini memperkuat fenomena di mana individu merasa “cocok” dengan gejala yang dibaca di internet, meskipun belum tentu sesuai dengan kondisi klinis yang sebenarnya.
Algoritma dan Ruang Gema Digital
Media sosial bekerja dengan algoritma yang memperkuat minat pengguna. Ketika seseorang menyukai satu konten bertema kesehatan mental, sistem akan terus menampilkan konten serupa. Sunstein (2018) menyebut kondisi ini sebagai echo chamber, yaitu ruang gema digital yang membuat individu merasa dikelilingi oleh orang-orang dengan masalah yang sama. Akibatnya, istilah psikologi berubah menjadi identitas diri seperti “overthinker” atau “introvert parah”, yang justru berpotensi membatasi perkembangan pribadi.
Romantisasi Gangguan Mental
Selain itu, film, drama, dan musik kerap menggambarkan gangguan mental secara puitis dan estetis. Luka batin divisualisasikan secara indah, sehingga depresi seolah tampak romantis. Padahal, bagi penderita sesungguhnya, menjalani aktivitas sehari-hari saja bisa menjadi perjuangan berat. Gambaran yang tidak realistis ini berisiko menyesatkan persepsi masyarakat.
Pentingnya Diagnosis Profesional
Psikiater dr. Tjhin Wiguna dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2021) menegaskan bahwa diagnosis gangguan mental tidak dapat dilakukan hanya dengan mencocokkan gejala dari internet. Diperlukan wawancara klinis, observasi, serta asesmen profesional. Emosi seperti sedih, cemas, takut, dan lelah adalah bagian dari pengalaman manusia dan tidak selalu menandakan gangguan mental.
PENUTUP
Kesadaran terhadap kesehatan mental merupakan hal yang penting, namun keseimbangan dalam memahaminya jauh lebih penting. Masyarakat perlu belajar mendengarkan diri sendiri tanpa terburu-buru memberi label medis. Mencari bantuan profesional bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri.
Kesehatan mental bukan sekadar tren yang akan hilang seiring bergantinya topik viral. Ia merupakan bagian dari kualitas hidup manusia. Dengan berhenti melabeli secara sembarangan dan tidak meromantisasi gangguan mental, masyarakat dapat membangun pemahaman yang lebih empatik dan realistis. Ruang aman untuk pulih dan berkembang jauh lebih dibutuhkan daripada sekadar label.
LAMPIRAN
Tidak ada.
DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Association. (2020). Mental health and social media.
Cahyaningsih, dkk. (2019). Pengaruh penggunaan gawai terhadap stres dan regulasi emosi.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018: Hasil utama.
Sunstein, C. R. (2018). #Republic: Divided democracy in the age of social media.
Wiguna, T. (2021). Edukasi kesehatan mental dan pentingnya diagnosis profesional. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.



















Komentar