Jakarta, MediaPatriot.co.id – 22 Desember 2025 — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta Pemerintah untuk menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan secara hati-hati dan berimbang. API menilai regulasi tersebut berpotensi menjadi pisau bermata dua apabila implementasinya tidak memperhatikan keseimbangan antara daya beli pekerja dan daya tahan dunia usaha, khususnya sektor industri padat karya tekstil dan produk tekstil (TPT).
PP Nomor 49 Tahun 2025 yang diterbitkan pada 17 Desember 2025 bertujuan menjaga daya beli pekerja dan stabilitas sosial-ekonomi. Namun API menilai mekanisme pengupahan yang berubah setiap tahun serta pendelegasian penentuan nilai alpha kepada pemerintah daerah berpotensi menciptakan ketidakpastian regulasi yang menyulitkan dunia usaha dalam melakukan perencanaan dan proyeksi bisnis jangka menengah maupun panjang.
Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa, menyampaikan kekhawatiran tersebut dalam konferensi pers yang digelar di Kantor API, Jakarta. Ia menegaskan bahwa ketidakpastian regulasi pengupahan dapat menurunkan optimisme pelaku industri tekstil dan garmen nasional.
“Ketika optimisme pelaku usaha menurun, industri manufaktur berpotensi bergeser menjadi pedagang. Ekspansi industri padat karya akan melambat, bahkan industri akan memilih jalan efisiensi melalui robotik dan otomatisasi. Padahal saat ini negara sangat membutuhkan jutaan lapangan kerja,” ujar Jemmy.
API mencatat bahwa industri TPT merupakan industri padat karya strategis yang menyerap sekitar 3,75 juta tenaga kerja nasional. Namun, pasca pandemi Covid-19, produktivitas dan tingkat utilisasi industri TPT belum pulih sepenuhnya. Lebih dari 200 ribu tenaga kerja sektor padat karya tercatat kehilangan pekerjaan sejak pandemi hingga saat ini.
Jemmy menambahkan bahwa industri TPT memiliki peran penting sebagai jaring pengaman sosial (safety net) dalam pengurangan kemiskinan, mengingat struktur tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan SMA/SMK ke bawah yang mencapai 88 persen. Industri TPT dinilai mampu menyerap tenaga kerja dengan karakteristik tersebut secara optimal.
Ia juga mencontohkan negara-negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan China yang tetap mempertahankan industri TPT sebagai jembatan transisi menuju industri berteknologi tinggi tanpa mengorbankan serapan tenaga kerja.
Sementara itu, Ian Syarif, Wakil Ketua API Bidang Perdagangan dan Perindustrian, menyoroti formula pengupahan dalam PP 49 Tahun 2025 yang memberikan ruang penetapan nilai alpha antara 0,5 hingga 0,9 persen kepada kepala daerah.
Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi kembali membuka ruang politisasi pengupahan di daerah serta menimbulkan ketidakadilan antar sektor industri, karena formula tersebut tidak mempertimbangkan kinerja ekonomi sektoral secara spesifik.
“Sektor industri dengan kontribusi pertumbuhan rendah di suatu wilayah bisa menjadi korban, karena tetap harus menanggung kenaikan upah yang sama, sementara kemampuan finansialnya terbatas,” jelas Ian.
API juga menerima keluhan dari anggota bahwa kenaikan upah yang bersifat cost-push berisiko menggerus kemampuan perusahaan untuk melakukan reinvestasi dan modernisasi mesin. Akibatnya, anggaran ekspansi dan peningkatan produktivitas menjadi terpangkas, bahkan hilang sama sekali.
Ian menegaskan bahwa kenaikan upah yang tidak dapat diprediksi akan mendorong industri memilih strategi robotik dan otomatisasi untuk menggantikan tenaga kerja manusia. Kondisi ini berpotensi mempercepat deindustrialisasi, di mana pabrik tutup dan beralih ke sektor perdagangan, sehingga memperbesar jumlah pekerja informal yang rentan terhadap perlindungan hak dan kepastian kerja.
Menutup konferensi pers, Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif API, menegaskan tiga poin utama sikap API. Pertama, implementasi PP 49 Tahun 2025 harus dilakukan secara sangat hati-hati agar tidak memicu kembali politisasi pengupahan di daerah. Kedua, kebijakan pengupahan ke depan harus lebih predictable dan mempertimbangkan karakter industri padat karya. Ketiga, pemerintah diminta melakukan langkah nyata dan sistematis dalam penegakan hukum serta perlindungan kapasitas produksi domestik, terutama dari tekanan impor produk jadi.
API menegaskan komitmennya untuk terus berkolaborasi dengan pemerintah dan pekerja dalam menjaga hubungan industrial yang sehat, sepanjang kebijakan yang diambil tetap sejalan dengan upaya melindungi industri manufaktur padat karya nasional dan memperluas penciptaan lapangan kerja.
(Red Irwan)













Komentar