Kabar “udang beku Indonesia terdeteksi radioaktif di Amerika Serikat” sempat bikin banyak orang mengernyit. Radioaktif? Di makanan? Rasanya seperti plot film sci-fi. Tapi mari kita urai pelan-pelan, dengan bahasa yang enak dibaca, supaya kita paham duduk perkaranya, apa yang sudah dilakukan otoritas, dan pelajaran apa yang perlu dibawa pulang.
Semua bermula dari pemeriksaan rutin di pelabuhan masuk Amerika. FDA, lembaga pengawas makanan dan obat AS, melakukan sampling terhadap kiriman udang beku dari Indonesia. Dari proses ini, mereka mendeteksi jejak cesium-137 (Cs-137) pada satu pengiriman. Levelnya sekitar 68 Bq/kg (becquerel per kilogram), angka yang jauh di bawah ambang intervensi FDA (1.200 Bq/kg). Secara ilmiah, ini bukan “bahaya akut”, namun FDA memilih langkah kehati-hatian: kiriman itu ditahan dan tidak masuk ke pasar, sembari investigasi diteruskan.
Keputusan berikutnya adalah peringatan publik sekaligus penarikan (recall) produk terkait di ritel AS. Awalnya, merek Great Value (private label Walmart) yang ditarik dari peredaran. Selang beberapa hari, distributor Southwind Foods memperluas recall untuk lima merek ritel, Sand Bar, Arctic Shores, Best Yet, Great American, dan First Street yang semuanya bersumber dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods) di Indonesia. Sampai sekarang tidak ada laporan orang sakit, arahan FDA sederhana: jangan konsumsi produk yang masuk daftar recall, kembalikan atau buang sesuai instruksi.
Di sisi Indonesia, kabar ini jelas mengundang respons. Bagi industri perikanan yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor, isu keamanan pangan bukan sekadar soal teknis laboratorium, tapi juga kepercayaan pasar. Pemerintah dan pelaku usaha segera menelusuri rantai pasok: dari tambak, pabrik pengolahan, hingga kontainer pengiriman. FDA pun menerbitkan Import Alert 99-51 yang pada intinya memperketat pintu masuk produk terkait ke AS sampai penyebabnya benar-benar tuntas. Bahasa sederhananya, sementara ini “ditahan dulu di perbatasan” agar tidak lolos ke rak supermarket.
Nah, apa itu Cs-137? Ini isotop radioaktif yang memancarkan beta dan gamma. Di alam bebas, Cs-137 biasanya jejak dari aktivitas nuklir masa lalu (uji coba senjata, kecelakaan reaktor), atau bisa juga dari sumber radioaktif industri/medis yang salah urus. Dalam jumlah besar dan paparan berulang, Cs-137 dapat meningkatkan risiko kanker. Tapi penting dicamkan: angka 68 Bq/kg yang ditemukan FDA tergolong rendah dibanding ambang tindakan. Analogi kasarnya—meski tidak 1:1—angka itu seperti mendengar suara “bising” sangat pelan di ujung lorong: terdengar, tetapi belum tentu berbahaya, apalagi kalau hanya sekali lewat. Tetap saja, standar global memilih sangat konservatif untuk urusan pangan: temuan sekecil apa pun wajib ditelusuri.
Apa kata para ahli? Pertama, dari sudut pandang keselamatan pangan, Prof. Donald Schaffner (pakar keamanan pangan, Rutgers University) menilai risiko bagi konsumen kemungkinan kecil mengingat level yang dilaporkan rendah. Namun, kehati-hatian tetap perlu karena kita bicara rantai pasok yang panjang dan konsumsi berulang—itulah mengapa recall dilakukan walau belum ada orang sakit. Pesan utamanya: probabilitas kecil bukan berarti diabaikan.
Kedua, dari komunitas nuklir (American Nuclear Society), konteks ilmiah Cs-137 di pangan ditegaskan lagi: angka pengukuran harus dibaca bersama ambang batas dan jalur paparan. Menurut penjelasan mereka, media kadang memotong detail teknis sehingga publik terlanjur panik mendengar kata “radioaktif”, padahal regulator bekerja dengan margin keamanan yang ekstra lebar. Singkatnya, standar dibuat bukanh hanya untuk “aman”, tetapi untuk “sangat aman”.
Ketiga, dari rantai pasok perikanan, analis industri mencatat bahwa FDA belum mengonfirmasi ada produk terkontaminasi yang sudah beredar di pasar; temuan positif ada di sampel kiriman pada empat pelabuhan (Los Angeles, Houston, Savannah, Miami), sementara beberapa produk ritel yang terlanjur terdistribusi tetap ditarik sebagai langkah pencegahan. Untuk sementara, semua jalur dari BMS ke AS berada di bawah kaca pembesar otoritas.
Dari mana asal kontaminasinya?
Jujur belum ada kesimpulan tunggal. Ada tiga hipotesis yang sering disebut pakar:
- Lingkungan: perairan/tambak bisa membawa jejak Cs-137 dari sedimen lama atau sumber lain. Ini biasanya rendah dan sporadis, tetapi tetap mungkin tertangkap alat sensitif.
- Kontaminasi silang: dari peralatan produksi/pengolahan misalnya, alat ukur atau sumber industri/medis yang tidak terinventaris dengan baik—yang menyentuh bahan/kemasan.
- Rantai logistik: kontainer/pallet yang sebelumnya terpapar bahan berkaitan radioaktif, lalu menyisakan jejak pada kemasan produk.
FDA menyebut penyelidikan masih berjalan dan karena itu mengunci pasokan terkait lewat import alert sambil menuntut root-cause analysis. Di tahap ini, yang terpenting buat publik adalah proses kontrolnya aktif, bukan menunggu sampai ada korban.
Bagaimana dampaknya untuk konsumen Indonesia?
Pertanyaan paling sering: “Apakah udang di pasar lokal ikut berbahaya?” Jawabannya tidak otomatis. Kasus ini menyangkut pengiriman ekspor yang dicegat di pelabuhan AS. Di Indonesia, produk untuk pasar domestik dan ekspor bisa melalui jalur berbeda, dan pemerintah telah meningkatkan pengawasan menyusul kabar ini. Pelajaran pentingnya adalah memperkuat pengujian termasuk screening radiasi di titik kritis: sebelum muat kontainer, saat transit dingin, hingga saat serah ke pelabuhan.
Apa pelajaran untuk industri?
Kasus ini adalah alarm sehat. Untuk eksportir:
Audit hulu ke hilir: telusuri tambak, air proses, es, gudang beku, hingga higiene peralatan.
Pengendalian kontainer: pastikan riwayat kontainer bersih; hindari penggunaan campur-aduk untuk kargo berisiko.
Pengujian verifikatif: sertakan uji radiologi sederhana pada lot sampling ekspor—biaya ekstra kecil dibanding nilai reputasi merek dan negara.
Transparansi dokumentasi: simpan hasil uji, riwayat kontainer, dan CAPA (Corrective and Preventive Action) rapi; ketika audit datang, data bicara.
Buat otoritas, langkah FDA memberi sinyal bahwa ketertelusuran (traceability) dan ketegasan respons adalah kunci. Indonesia bisa memperkuat protokol pra-ekspor dan menerbitkan komunikasi publik yang jernih (angka, ambang, status investigasi) agar rumor tidak berkembang liar.
Mengurai angka tanpa bikin pusing
Becquerel (Bq) adalah satuan “berapa kali peluruhan radioaktif terjadi per detik.” 68 Bq/kg berarti ada 68 peluruhan per detik dalam setiap kilogram sampel. Angka ini terdengar besar karena “per detik”, tetapi regulasi membandingkannya dengan batas intervensi yang dirancang sangat konservatif. FDA menetapkan 1.200 Bq/kg sebagai patokan tindakan untuk Cs-137, jadi temuan 68 Bq/kg ibarat sekitar 6% dari ambang. Namun, karena pangan bisa dikonsumsi berulang, dan karena jejaknya terdeteksi di pengiriman, otoritas memilih mencegah via recall & import alert. Itulah standar global modern: mencegah sebelum menyesal.
Menutup dengan secangkir nalar
Kisah udang beku ini memperlihatkan mekanisme keamanan pangan internasional sedang bekerja: alat sensitif di pelabuhan menangkap sinyal lemah, regulator menahan produk, ritel menarik barang, dan penyelidikan dilakukan sampai tuntas. Di tengah gempuran judul bombastis, ada baiknya kita berpegang pada tiga hal:
- Fakta kunci: level Cs-137 yang dilaporkan rendah dan pengiriman yang positif tidak masuk pasar; recall di ritel bersifat pencegahan.
- Status terkini: recall melebar ke beberapa merek ritel AS yang bersumber dari pemasok yang sama, sambil FDA menyelidiki akar masalah.
- Sikap wajar: bagi konsumen di Indonesia, tidak perlu panik saat membeli udang lokal; bagi pelaku usaha, perketat kontrol dan dokumentasi karena kepercayaan adalah modal terbesar dalam ekspor pangan.
Jika dibaca utuh, kasus ini bukan cerita seram tentang makanan “beracun”. Ini justru kisah rantai pengaman, dari laboratorium pelabuhan hingga rak toko yang dirancang agar apa pun yang berada di piring kita aman, terlacak, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dan di situlah reputasi udang Indonesia harus berdiri: lezat, kompetitif, dan memenuhi standar dunia.
Komentar