Penulis:
Aura Syifa Eka Kurnia
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Abstrak
Tujuan dari artikel ini adalah meneliti nilai-nilai demokrasi yang tampak dalam diskusi politik mengenai mosi “Pembatasan Kebebasan Berekspresi Harus Didukung demi Menjaga Ketertiban dan Keberlangsungan Demokrasi.” Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus melalui partisipasi aktif dan analisis konten.
Hasil penelitian mengungkapkan empat nilai utama: (1) hak dasar atas kebebasan berekspresi, (2) mahasiswa sebagai pengawas sosial, (3) dasar hukum yang diperlukan dalam membatasi kebebasan, dan (4) keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban sosial. Data tambahan dari indeks demokrasi, laporan survei lembaga, dan keputusan pengadilan digunakan untuk menguatkan temuan. Artikel ini menyimpulkan bahwa diskusi produktif dan berbasis hukum merupakan elemen penting dalam memperkuat demokrasi deliberatif.
Kata Kunci: Kebebasan Berekspresi, Demokrasi, Mahasiswa, Hukum, Ketertiban Masyarakat, Diskusi Politik.
Pendahuluan
Demokrasi di Indonesia tidak hanya terkait dengan pemilu, tetapi juga berkaitan dengan ruang diskusi yang sehat dan partisipatif. Simulasi debat mahasiswa dengan mosi “Pembatasan Kebebasan Berekspresi Harus Didukung demi Menjaga Ketertiban dan Keberlangsungan Demokrasi” memperlihatkan adanya perdebatan klasik antara hak individu dan kepentingan umum, yang hingga kini masih relevan.
Tulisan ini bertujuan mengembangkan ide-ide dari simulasi tersebut menjadi riset ilmiah dengan kerangka teori yang sesuai dan data empiris. Fokus utamanya adalah bagaimana nilai-nilai demokrasi diwujudkan dan dibahas dalam diskusi politik mahasiswa, serta dampaknya bagi ketertiban demokrasi di Indonesia.
Metodologi
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus instrumental. Data utama diperoleh melalui pengamatan partisipatif pada debat mahasiswa tentang pembatasan kebebasan berekspresi.
Materi pendukung dihimpun dari:
- literatur akademik,
- laporan lembaga seperti Freedom House, SAFEnet, dan Komnas HAM,
- hasil survei dari LSI dan Katadata.
Analisis dilakukan dengan analisis konten tematik untuk menemukan nilai-nilai dan pola argumen yang muncul dalam diskusi, kemudian dikaitkan dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini.
Pembahasan
1. Kebebasan Berekspresi sebagai Hak Dasar Demokrasi
Kebebasan berekspresi merupakan pilar demokrasi yang dijamin konstitusi dan perjanjian HAM internasional. Namun, dalam praktiknya hak ini sering dibatasi dengan alasan ketertiban dan keamanan publik.
- Freedom in the World 2023 mencatat nilai kebebasan sipil Indonesia hanya 59/100, dengan tren penurunan akibat banyaknya penggunaan UU ITE untuk menjerat kritik.
- SAFEnet (2022) mendokumentasikan 124 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi.
Data ini menunjukkan bahwa jaminan konstitusional masih jauh dari penerapan yang merata.
2. Peran Kritis Mahasiswa dalam Demokrasi
Sejarah membuktikan mahasiswa berperan penting dalam menjaga demokrasi, seperti Reformasi 1998. Hingga kini, mahasiswa masih aktif mengkritisi kebijakan publik, misalnya dalam penolakan terhadap RKUHP dan UU Cipta Kerja.
- Survei LSI (2023): 68% masyarakat masih percaya pada mahasiswa sebagai suara rakyat.
Namun, hambatan seperti apatisme politik dan minimnya ruang diskusi resmi mengurangi efektivitas peran tersebut.
3. Urgensi Dasar Hukum yang Jelas dan Adil
Pembatasan kebebasan berekspresi harus memiliki dasar hukum yang tegas dan adil.
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 menekankan bahwa pembatasan hak harus dilakukan dengan pertimbangan ketat demi kepentingan demokrasi.
- Namun, penerapan UU ITE sering dipandang diskriminatif. Komnas HAM (2023) menerima 78 pengaduan terkait tafsir pasal-pasal UU ITE.
4. Menemukan Keselarasan: Kebebasan dan Ketertiban
Keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban merupakan tantangan global.
- Jerman menerapkan NetzDG untuk mengurangi konten berbahaya tanpa menghapus kebebasan berpendapat.
- Indonesia dapat menempuh jalur serupa dengan memperkuat literasi digital dan memperbaiki regulasi.
- Survei Katadata (2022): 65% responden menilai pendidikan etika digital lebih efektif daripada pembatasan represif.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Diskusi mengenai pembatasan kebebasan berekspresi menunjukkan dinamika demokrasi yang sehat, dengan membahas nilai-nilai:
- Kebebasan berekspresi sebagai hak dasar yang harus dilindungi.
- Mahasiswa sebagai pengawas sosial yang penting dalam demokrasi.
- Kebutuhan dasar hukum yang adil agar pembatasan tidak disalahgunakan.
- Perlunya keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban melalui pendekatan edukatif.
Rekomendasi kebijakan:
- Revisi UU ITE agar lebih adil dan jelas.
- Penguatan mekanisme dialog publik untuk menampung kritik.
- Integrasi pendidikan demokrasi dan literasi digital ke dalam kurikulum perguruan tinggi.
Referensi
- Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Freedom House. (2023). Freedom in the World 2023: Indonesia. Diakses dari https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2023
- Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Pengaduan Masyarakat terkait UU ITE. Jakarta: Komnas HAM RI.
- LSI. (2023). Survei Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Negara dan Politik. Lembaga Survei Indonesia.
- Mahkamah Konstitusi RI. (2008). Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU No. 9/1998.
- SAFEnet. (2022). Laporan Kondisi Kebebasan Berekspresi di Indonesia. Diakses dari https://safenet.or.id/laporan/
- Katadata Insight Center. (2022). Survei Literasi Digital dan Etika Berinternet Masyarakat Indonesia.
Komentar