Jakarta, MediaPatriot.co.id 4 November 2025— Langkah tegas diambil pejuang lingkungan asal Merauke, Vincent Kwipalo, yang juga merupakan pimpinan Marga Kwipalo, dalam memperjuangkan hak tanah leluhur mereka. Didampingi tim advokat Solidaritas Merauke, Vincent resmi melaporkan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) ke Bareskrim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat dan tindak pidana perkebunan.
Laporan tersebut diterima oleh Yudi Bintoro, S.H., M.H., atas nama Kasub Penerimaan Laporan Markas Besar Kepolisian RI, dan telah terdaftar dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/544/XI/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI, tertanggal 4 November 2025.
Tanah dan Hutan Adat Diserobot Tanpa Persetujuan
Sejak 2024, Marga Kwipalo menolak keras kehadiran PT MNM yang mengembangkan perkebunan tebu di wilayah adat Kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Menurut Vincent, tanah dan hutan adat mereka merupakan sumber kehidupan masyarakat adat — tempat mencari pangan, obat-obatan, dan simbol keberlangsungan budaya yang diwariskan leluhur.
“Sampai kapan pun sejengkal tanah tidak akan kami berikan. Jika hutan kami habis, kami dan anak cucu akan kehilangan tempat hidup,” tegas Vincent Kwipalo di Jakarta.
Namun penolakan itu tidak menghentikan perusahaan. PT MNM tetap melakukan aktivitas pengukuran, pematokan, dan penggusuran hutan adat — bahkan di kawasan keramat seperti Cacibi, Abakin, Agodai, dan Congyap. Parahnya, ditemukan pula pembangunan sarana militer di dusun Muckai sejak Juni 2025 tanpa persetujuan pemilik adat.
Masyarakat Marga Kwipalo telah memasang sasi permater (larangan adat) dan tanda cat merah di batas wilayah adat sebagai peringatan. Namun perusahaan tetap beroperasi dengan hanya mengantongi perizinan berusaha berbasis risiko dari Dinas Penanaman Modal dan PTSP, tanpa Hak Guna Usaha (HGU) resmi.
Kuasa Hukum: Ada Dugaan Pelanggaran Pasal 385 KUHP dan UU Perkebunan
Kuasa hukum Vincent Kwipalo, Emanuel Gobay, S.H., M.H., menjelaskan bahwa laporan tersebut menyoroti dugaan pelanggaran serius yang dilakukan perusahaan.
“Kami melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan tanah adat sebagaimana diatur dalam Pasal 385 ayat (1) KUHP, serta tindak pidana perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” jelas Gobay.
Ia menegaskan, Marga Kwipalo merupakan masyarakat adat yang diakui secara hukum berdasarkan UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, serta diakui secara formal melalui SK Bupati Merauke Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Suku Yei.
“Hak mereka mencakup wilayah, tanah, dan sumber daya alam. Tapi perusahaan justru masuk tanpa musyawarah, menghancurkan hutan adat, tanaman pangan, bahkan situs sakral,” tambah Asep Komarudin, S.H., salah satu kuasa hukum yang juga merupakan Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia.
Desakan Hentikan Aktivitas dan Lindungi Masyarakat Adat
Asep menegaskan, pihaknya meminta Kapolri menghentikan seluruh aktivitas perusakan hutan oleh PT MNM serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat Kwipalo, sesuai Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata,” tegasnya.
Kuasa hukum berharap kepolisian dapat bertindak cepat dan tegas untuk mencegah eskalasi konflik horizontal di lapangan, yang kini mulai menimbulkan ketegangan antar-marga dan ancaman terhadap tokoh adat setempat.
Penegakan Hukum Diuji: Negara Tak Boleh Abai
Advokat Sekar Banjaran Haji menilai kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen negara dalam melindungi hak masyarakat adat dan menegakkan supremasi hukum.
“Negara tidak boleh abai. Ini bukan sekadar persoalan tanah, tetapi soal penghormatan terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang dijamin UUD 1945. Jika perusahaan dibiarkan bertindak tanpa dasar hukum, itu berbahaya bagi keadilan sosial dan lingkungan di Papua,” tegas Sekar.
Sekar juga mendesak aparat penegak hukum agar memproses laporan ini secara transparan dan akuntabel, mengingat dugaan pelanggaran yang terjadi juga menyentuh aspek UU HAM, UU Lingkungan Hidup, dan UU Perkebunan.
“Penegakan hukum yang berpihak pada rakyat akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Masyarakat adat bukan penghalang pembangunan, mereka adalah penjaga bumi yang harus dihormati,” tutup Sekar Banjaran Haji.
Perjuangan yang Menjadi Simbol
Kasus PT Murni Nusantara Mandiri kini menjadi perhatian nasional. Para pemerhati lingkungan, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas adat di Papua menaruh harapan besar agar proses hukum berjalan adil, transparan, dan berpihak pada keadilan ekologis.
Bagi Vincent Kwipalo dan Marga Kwipalo, perjuangan ini bukan sekadar soal kepemilikan tanah, tetapi tentang mempertahankan identitas, kehormatan, dan kelangsungan hidup masyarakat adat di tanah leluhur mereka.
Sampai berita ini terbit, pihak PT Murni Nusantara Mandiri belum memberikan tanggapan.
(Red Irwan)












