Cirebon — Dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, suara yang mengingatkan bangsa pada akar sejarahnya datang dari Keraton Kasepuhan Cirebon.
Sultan Sepuh Cirebon, Pangeran Heru Rusyamsi, S.Psi., M.H., menyerukan agar bangsa Indonesia tidak melupakan asal-usul kebesarannya. Dalam pandangan beliau, kekuatan karakter dan arah kebangsaan Indonesia lahir dari nilai-nilai luhur para raja dan sultan yang dahulu menjadi penopang berdirinya Nusantara.
“Jati diri Indonesia ada di para raja dan sultan Nusantara. Itu yang harus diingat dan dihormati oleh Pemerintah Indonesia saat ini,” ujar Sultan Sepuh dengan nada tenang namun tegas dalam sebuah pernyataan resmi yang disampaikan di Cirebon, Senin (10/11/2025).
Pernyataan itu menjadi sorotan publik, mengingat konteks Hari Pahlawan yang selalu identik dengan perjuangan melawan penjajahan. Sultan Heru mengingatkan, sebelum lahirnya republik, kepahlawanan sudah hidup di dalam jiwa para pemimpin adat dan kerajaan. Mereka menjaga wilayah, menegakkan keadilan, dan memelihara persatuan jauh sebelum konsep negara modern dikenal.
“Para leluhur kita tidak hanya berperang melawan penjajah, tapi juga berjuang menjaga martabat dan kebudayaan. Mereka adalah penjaga karakter bangsa,” ucapnya.
Bagi Sultan Sepuh, sejarah perjuangan bangsa tidak bisa dilepaskan dari peran kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara — dari Aceh hingga Ternate, dari Cirebon hingga Bone. Menurutnya, dalam struktur sosial dan politik masa lalu, kerajaan menjadi pusat peradaban, tempat lahirnya nilai-nilai yang kini dikenal sebagai dasar moral bangsa Indonesia.
Dalam konteks kekinian, Sultan Heru menilai peringatan Hari Pahlawan harus dimaknai secara lebih luas, tidak sekadar penghormatan terhadap tokoh nasional yang gugur di medan perang. “Pahlawan bukan hanya mereka yang menumpahkan darah, tetapi juga mereka yang menjaga keutuhan nilai dan budaya,” katanya.
Rilis yang disampaikan Sultan Sepuh ini merupakan bagian dari komitmen Dewan Adat Nasional Republik Indonesia (DAN-RI) — lembaga yang menaungi perwakilan adat, kerajaan, dan kesultanan di seluruh wilayah Nusantara — untuk terus memperjuangkan pengakuan serta penghormatan terhadap sejarah perjuangan para raja dan sultan.
DAN-RI memandang, pengakuan terhadap keberadaan adat dan kerajaan bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan bagian penting dari pembangunan karakter bangsa.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, DAN-RI menegaskan kembali bahwa para raja dan sultan memiliki peran besar dalam membentuk arah kebangsaan Indonesia. Di masa lampau, kerajaan-kerajaan menjadi simbol kemandirian dan ketahanan masyarakat Nusantara menghadapi kolonialisme. Kini, nilai-nilai yang sama perlu dihidupkan kembali dalam bentuk kebijakan dan pendidikan karakter nasional.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya,” demikian bunyi kutipan dari rilis tersebut.
Bagi Sultan Heru, sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan panduan moral masa depan. Ia menilai bahwa pembangunan nasional harus bersandar pada nilai-nilai kearifan lokal yang telah lama hidup di masyarakat. “Jika kita kehilangan akar budaya, kita akan kehilangan arah kebangsaan,” ujarnya.
Sultan Sepuh Cirebon juga menyinggung pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan lembaga adat. Menurutnya, jika nilai-nilai adat, budaya, dan sejarah dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan pembangunan, maka bangsa Indonesia akan memiliki pondasi yang lebih kuat. “Kebijakan tanpa nilai akan mudah rapuh,” katanya.
Pandangan itu selaras dengan posisi Keraton Kasepuhan yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan tertua di Jawa Barat. Di balik tembok keraton yang berusia ratusan tahun, tersimpan naskah-naskah kuno, artefak sejarah, dan ajaran moral yang menjadi cerminan kearifan leluhur. Bagi Sultan Heru, seluruh warisan itu bukan hanya milik Cirebon, melainkan milik bangsa Indonesia.
“Keraton bukan simbol masa lalu. Ia adalah penjaga masa depan moral bangsa,” ujarnya dalam sebuah wawancara sebelumnya.
Dalam rilis Hari Pahlawan kali ini, Sultan Heru juga memberikan perhatian khusus pada peran generasi muda. Ia menilai bahwa generasi penerus bangsa harus dididik agar memahami sejarah bangsanya sendiri. “Kalau generasi muda tidak mengenal para pahlawan dan leluhurnya, maka mereka akan mudah kehilangan arah,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa semangat kepahlawanan tidak hanya bisa ditemukan di buku sejarah. Semangat itu hidup dalam sikap kejujuran, kesetiaan, dan pengabdian — nilai-nilai yang diwariskan para leluhur. “Perjuangan hari ini bukan lagi di medan perang, tetapi dalam menjaga kejujuran, keadilan, dan martabat bangsa,” katanya.
Sultan Sepuh menegaskan, penghormatan terhadap para raja dan sultan bukan berarti menolak modernitas. Sebaliknya, ia mengajak agar nilai-nilai lama dijadikan dasar moral untuk menghadapi zaman baru. “Kemajuan tanpa akar budaya akan melahirkan kehampaan,” ucapnya.
Pernyataan itu mengundang respons positif dari berbagai tokoh adat dan budaya di sejumlah daerah. Mereka menilai, suara dari Cirebon tersebut menjadi pengingat bahwa di tengah arus globalisasi, bangsa ini membutuhkan jangkar moral yang kuat. DAN-RI menilai bahwa nilai-nilai kepemimpinan para raja Nusantara — yang menempatkan rakyat sebagai bagian dari keluarga besar — masih relevan untuk diterapkan dalam sistem pemerintahan modern.
“Kerajaan-kerajaan dulu tidak sekadar memerintah, mereka membina dan melindungi. Konsep itu yang perlu dihidupkan kembali,” tulis salah satu pernyataan tambahan dari Dewan Adat Nasional.(Redaksi)















Komentar