Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.* *Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera
Carok atau suatu perbuatan saling serang menggunakan benda tajam berupa clurit menjadi suatu identitas budaya masyarakat. Beretnis Madura yang bertempat di Provinsi Jawa Timur menjadi suatu cara yang menjelma identitas masyarakat tersebut. Baik dalam menyelesaikan masalah, prestisius atau mempertahankan harga diri. Sebagai suatu kebiasaan yang mengarah kepada permusuhan antar sesama maka hal ini tentu bukan suatu yang patut dibanggakan. Jauh dari suatu hal bersifat prestasi, kebiasaan yang masih dianut sebagian masyarakat tersebut tidak untuk dikedepankan, semisal dalam penyelesaian masalah, perlu untuk senantiasa mengutamakan perdamaian dengan cara musyawarah.
Begitu pun hal lain seperti restisius dengan jalur prestasi dari perlombaan dalam kebaikan, termasuk mempertahankan harga diri untuk menempuh jalan yang mengangkat harkat martabat. Suatu sumber internet menyebut bahwa secara sejarah carok adalah metode yang diberlakukan penjajah kepada pribumi setempat, yaitu dengan cara mengadu. Terdapat jejak koloni dalam sejarah lahirnya tradisi carok dapat diambil makna bahwa hal tersebut merupakan cara penjajah yang diberlakukan terhadap pribumi. Suatu metode dari koloni yang keji terhadap masyarakat atau pendusuk asli.
Persoalannya adalah Ekspose yang dilakukan pihak media, menunjukkan sikap berlebihan, bahkan dapat memicu persoalan lanjutan atau persoalan lain. Akibat yang ditimbulkan bukan hanya internal etnis pelaku budaya atau cara tersebut namun dapat meluas di luarnya termasuk terhadap para perantau dari dari daerah tersebut seantero negeri ini. Bukan hanya itu, penyajian berita atas berbagai kejadian tersebut dalam melahirkan suatu sikap yang kontraproduktif yaitu kondisi yang menakutkan dan mengerikan tentang pertarungan antar sesama manusia.
Maka penting untuk media mengambil sikap proporsional dan profesional dalam penyajian berita dan menaruh perhatian berupa kehati-hatian terhadap kejadian-kejadian tertentu termasuk peristiwa carok ini. Lantaran bukan suatu yang perlu untuk dibanggakan, maka perilaku yang mengedepankan kekerasan, termasuk carok, warisan penjajah tersebut tidak untuk didorong media agar senantiasa populer di masyarakat dengan melakukan “ekspose” berlebih-lebihan dan jauh dari proporsional sajian berita, sebab demikian disebut penulis dalam artikel sebelumnya dengan kategori media setan yang menyeru dan “membisikkan” permusuhan dan kekacauan, “wal ya’uudzubillahi!”