PENJAGA MARWAH INFORMASI

PWI, DEWAN PERS, DAN SMSI DALAM BINGKAI NKRI
Di tengah riuh rendah jagat digital, ketika kabar bisa datang dari mana saja—bahkan dari akun tanpa nama yang memakai foto kucing berpakaian tentara—peran institusi pers resmi dalam menjaga kesucian informasi menjadi lebih vital dari sebelumnya. Dalam konteks inilah, kita perlu menengok tiga pilar penting yang berdiri kokoh di lanskap jurnalistik Indonesia: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Dewan Pers, dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI). Ketiganya, meski berbeda fungsi dan peran, terikat dalam simpul yang sama: menjaga marwah informasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

PWI Bukan Sekadar Organisasi, Tapi Rumah Idealisme
Didirikan pada 9 Februari 1946 di Solo, PWI adalah tonggak sejarah yang mencatat bahwa wartawan Indonesia sejak awal sadar akan pentingnya bersatu demi menjaga kemerdekaan dan integritas bangsa. PWI bukan hanya organisasi profesi, tapi rumah besar yang merawat idealisme jurnalistik, membina etika, serta menjadi pagar moral di tengah badai kepentingan yang menerpa ruang redaksi.
Di era ketika jurnalisme bisa dibajak oleh klikbait dan hasrat viral, keberadaan PWI menjadi mercusuar etika. Wartawan yang bernaung di bawah PWI terikat oleh kode etik jurnalistik, yang tak sekadar mantra kosong, melainkan kompas moral dalam mengarungi samudra informasi. Dalam bingkai NKRI, PWI menjadi garda terdepan yang memastikan bahwa kemerdekaan pers tidak berubah menjadi kebebasan liar yang justru merusak tenun kebangsaan.

Dewan Pers Wasit, Penjaga Gawang, Sekaligus Guru Etika
Jika PWI adalah rumah, maka Dewan Pers adalah penjaga halaman depan yang memastikan siapa pun yang masuk dan keluar mengikuti aturan main. Berdiri sebagai lembaga independen berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers mengemban amanah besar: menjaga kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Dewan Pers berfungsi sebagai wasit yang menengahi sengketa pers, melindungi wartawan dari kriminalisasi, dan menetapkan standar kompetensi yang membuat profesi wartawan tidak bisa digeluti sembarang orang. Ia adalah pagar tinggi yang mencegah infotainment menyamar sebagai jurnalistik, dan memastikan bahwa yang disebut “pers” bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga soal akurasi, keberimbangan, dan tanggung jawab sosial.
Dalam bingkai NKRI, Dewan Pers adalah benteng yang menahan derasnya arus disinformasi. Ia menjadi filter institusional yang menjaga agar kebebasan berekspresi tidak melukai kesatuan bangsa, tidak menyalakan bara sektarianisme, dan tidak menyiram bensin ke atas api hoaks.

SMSI Menjembatani Era Siber dengan Marwah Profesionalisme
Di zaman ketika media tidak lagi hanya berupa koran cetak, SMSI hadir sebagai representasi media siber yang tumbuh pesat bak jamur di musim algoritma. Didirikan pada 7 Maret 2017 di Banten, SMSI muncul sebagai jawaban atas kebutuhan zaman: bagaimana menjembatani kemajuan teknologi dengan nilai-nilai jurnalistik yang kokoh.
Sebagai organisasi yang mewadahi ribuan media online, SMSI memikul tanggung jawab besar: menyaring, membina, dan membentuk ekosistem media digital yang profesional, legal, dan etis. Dalam konteks NKRI, peran SMSI tak bisa diremehkan. Ia adalah tameng yang membendung tsunami hoaks, sekaligus pelopor literasi digital yang membuat masyarakat tidak mudah terseret oleh judul bombastis yang ternyata hanyalah jebakan iklan.

Dalam Bingkai NKRI Menjaga Persatuan Lewat Informasi
PWI, Dewan Pers, dan SMSI, jika dibayangkan sebagai tiga tiang utama, maka atap yang mereka sangga bersama adalah Indonesia itu sendiri—negara yang plural, dinamis, dan rentan terhadap distorsi informasi. Ketiganya berperan seperti tiga penjuru kompas: memastikan bahwa arah pergerakan informasi tidak keluar dari koridor Pancasila dan UUD 1945.
Di tengah godaan kepentingan politik, tekanan ekonomi, dan derasnya globalisasi digital, ketiganya tetap memegang satu komitmen luhur: bahwa informasi harus mempersatukan, bukan memecah-belah. Bahwa berita harus mencerdaskan, bukan menyesatkan. Dan bahwa wartawan, sejatinya, adalah pilar keempat demokrasi yang tidak boleh runtuh hanya karena iming-iming traffic atau ancaman klik.

Penutup
Kolaborasi atau Kolaps?
Tantangan ke depan tidak akan mudah. Polarisasi politik, algoritma media sosial, hingga infiltrasi asing dalam lanskap informasi adalah ancaman nyata. Namun, dengan kolaborasi antarlembaga—PWI menjaga integritas individu wartawan, Dewan Pers sebagai regulator etik, dan SMSI sebagai penjaga rimba digital, pers Indonesia masih punya harapan untuk tetap menjadi cahaya dalam kegelapan informasi.
Dalam bingkai NKRI, ketiganya bukan hanya eksistensi struktural, tapi adalah pengejawantahan semangat kebangsaan dalam ranah jurnalistik. Karena menjaga kebenaran bukan sekadar tugas pers, tapi juga bentuk cinta pada tanah air.

Benz Jono Hartono
Praktisi Media Massa di Jakarta



Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Komentar