Oleh : Maysah Hanum
Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau
Universitas Andalas
Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai salah satu kelompok etnis di Indonesia yang memiliki sistem adat dan budaya yang sangat kaya. Dalam kehidupan sehari-hari, nilai-nilai adat tidak hanya diterapkan dalam bentuk tindakan, tetapi juga ditransmisikan melalui bahasa, khususnya melalui ungkapan dan peribahasa. Peribahasa menjadi media penting untuk menyampaikan nasihat, larangan, dan pedoman hidup secara halus namun mendalam. Oleh karena itu, memahami peribahasa berarti juga memahami cara berpikir dan cara hidup orang Minang.
Peribahasa merupakan salah satu bentuk kekayaan budaya lisan yang mencerminkan nilai-nilai, norma, dan pandangan hidup masyarakat. Dalam budaya Minangkabau, peribahasa tidak hanya berfungsi sebagai hiasan bahasa, tetapi juga sebagai sarana pendidikan moral dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat Minangkabau memegang teguh prinsip “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, yang menjadikan peribahasa sebagai bagian dari sistem pendidikan tidak formal yang berlandaskan adat dan agama.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada realitas bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi dan mempengaruhi relasi sosial. Peribahasa Minang “Bara Katajam Ladiang, Labiah Tajam Muluik Manusia” menawarkan perspektif yang menarik tentang bagaimana kata-kata dapat memiliki dampak yang lebih mendalam dibandingkan dengan kekerasan fisik. Peribahasa ini mengajak kita untuk merefleksikan peran bahasa dalam interaksi sosial dan bagaimana kata-kata dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun atau menghancurkan hubungan.
Peribahasa Minang “Bara Katajam Ladiang, Labiah Tajam Muluik Manusia” merupakan sebuah pepatah yang sarat makna dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Secara harfiah, peribahasa ini membandingkan ketajaman pedang dengan ketajaman lidah manusia. Meskipun pedang dikenal sebagai senjata yang mematikan dan bisa menyebabkan luka fisik yang serius, peribahasa ini menyatakan bahwa lidah manusia jauh lebih tajam dan berbahayanya.
Ibaratnya Pedang memang bisa melukai tubuh, namun luka fisik pada umumnya dapat disembuhkan dengan waktu dan perawatan yang tepat. Namun, kata-kata yang keluar dari mulut seseorang bisa meninggalkan luka yang lebih dalam dan lama pada jiwa dan perasaan seseorang. Sebuah kalimat pedas, hinaan, atau cercaan bisa menghancurkan harga diri, menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan, dan bahkan mengubah jalan hidup seseorang.
Dalam era digital ini, di mana komunikasi menjadi lebih cepat dan luas, dampak dari kata-kata yang diucapkan dapat menyebar dengan sangat cepat dan tidak terkendali. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dinamika bahasa dan bagaimana kata-kata dapat mempengaruhi orang lain. Dalam konteks ini, peribahasa ini menjadi relevan karena mengingatkan kita akan pentingnya menggunakan kata-kata dengan bijak dan penuh empati.
Dalam analisis lebih lanjut, kita dapat melihat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk identitas dan mempengaruhi harga diri seseorang. Sebuah kata-kata yang pedas dan kasar dapat menghancurkan kepercayaan diri dan menimbulkan kesedihan yang berkepanjangan. Sebaliknya, kata-kata yang positif dan mendukung dapat meningkatkan motivasi dan kinerja seseorang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan kata-kata dengan bijak dan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Dalam bidang akademis, peribahasa ini juga dapat menjadi bahan refleksi tentang bagaimana kita menggunakan bahasa yang baik dalam komunikasi ilmiah. Dalam menulis artikel atau makalah, kita harus mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang digunakan dapat mempengaruhi pembaca dan membangun argumentasi yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dinamika bahasa dan menggunakan kata-kata dengan bijak dalam komunikasi akademis. Selain itu, peribahasa ini juga dapat diaplikasikan dalam konteks sosial dan politik. Dalam situasi konflik atau perbedaan pendapat, kata-kata yang digunakan dapat memiliki dampak yang signifikan pada eskalasi atau resolusi konflik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan kata-kata dengan bijak dan mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain dalam konteks sosial dan politik.
Dalam praktiknya, menggunakan kata-kata dengan bijak dan penuh empati memerlukan kesadaran dan refleksi diri yang tinggi. Kita harus mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang kita gunakan dapat mempengaruhi orang lain dan berusaha untuk menggunakan kata-kata yang positif dan mendukung. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan damai, di mana setiap orang merasa dihargai dan dihormati.
Sekali dilepaskan, kata-kata tak bisa ditarik kembali. Sama seperti anak panah, ia bisa mengenai sasaran dan melukai dengan cepat. Namun bedanya, luka akibat kata-kata tak tampak secara fisik, tetapi meninggalkan bekas dalam batin. Kita sering mendengar orang berkata, “hanya bercanda”, atau “tidak sengaja”, tetapi efeknya bisa sangat menyakitkan bagi yang mendengar. Banyak orang yang kehilangan kepercayaan diri, merasa rendah diri, atau bahkan trauma karena kata-kata buruk dari orang lain baik itu di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, bahkan dalam pertemanan.
Peribahasa Minangkabau “Bara katajam ladiang, labiah tajam muluik manusia” mengandung pesan moral yang sangat dalam tentang pentingnya menjaga lisan dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan ini menegaskan bahwa kata-kata yang diucapkan manusia dapat menimbulkan luka yang lebih dalam daripada luka fisik, karena dampaknya bisa merusak hubungan, menjatuhkan harga diri, dan menghancurkan keharmonisan sosial.
Dalam konteks budaya Minangkabau yang menjunjung tinggi adat, etika, dan kehormatan, peribahasa ini menjadi nasihat penting agar setiap orang berhati-hati dalam berbicara. Tidak hanya dalam interaksi langsung, tetapi juga dalam dunia digital yang memungkinkan setiap orang menyampaikan pendapat secara terbuka. Ketajaman kata-kata tidak boleh dianggap sepele, karena ia dapat menciptakan konflik maupun menyebarkan kebencian. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami bahasa dan menggunakan kata-kata dengan bijak dalam interaksi sosial dan akademis. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan damai, di mana setiap orang merasa dihargai dan dihormati.