NOVEL BAB 6 : Harga Sebuah Ongkos dan Martabat Jurnalis
Awal tahun 2017. Bekasi masih dipenuhi debu proyek jalan tol dan suara bising knalpot dari kendaraan yang lalu-lalang di Terminal Induk. Di antara hiruk-pikuk itu, Ade berdiri dengan satu tas jinjing kecil dan sebuah dompet berisi identitas penting. Ia bukan pejabat, bukan artis, tapi seorang wartawan—pekerjaan yang penuh risiko, tapi juga idealisme yang tak bisa ditawar.
Hari itu, Ade hendak pulang ke kampung halamannya di Cirebon. Ia sudah berdiri di jalur keberangkatan, menunggu bus jurusan Cirebon. Seperti biasa, ia memilih bus ekonomi yang cukup nyaman namun tetap terjangkau. Beberapa bus lewat, dan matanya tertuju pada satu unit bernama Putri Satu (nama disamarkan).
Bus itu tampak cukup penuh, tapi tidak padat. Ia mendekat, dan dengan sopan bertanya kepada kenek yang berdiri di pintu:
“Maaf, Pak. Ke Cirebon berapa ya?”
Kenek menjawab dengan nada cepat dan sedikit ketus: “Lima puluh ribu!”
Ade sempat tertegun. Ia tahu betul, hari itu bukan akhir pekan, bukan pula musim mudik. Biasanya, tarif dari Bekasi ke Cirebon hanya sekitar dua puluh ribu rupiah. Bahkan kadang bisa kurang jika naik pagi atau siang hari.
Dengan tetap sopan, ia menjawab:
“Loh, biasanya kan dua puluh ribu, Pak. Masa sampai lima puluh? Bisa 25 saja, saya ini wartawan,” katanya sambil membuka dompet dan menunjukkan kartu persnya.
Seketika suasana menjadi agak hening. Penumpang yang sedang duduk di dalam bus mulai memperhatikan. Sopir ikut mendengar pembicaraan. Suara-suaranya menyusul:
“Udah kasih aja tuh wartawan, Nek!”
Tapi jawaban kenek justru mengejutkan:
“Jagoan amat sih! Wartawan kek, orang biasa kek, sama aja. Gak ada beda!”
Seketika darah Ade mendidih. Tapi ia menahannya. Ia tidak ingin membalas dengan nada tinggi. Ia tidak ingin mempermalukan siapa pun. Tapi sebagai wartawan, sebagai rakyat, sebagai manusia biasa yang ingin pulang dengan ongkos wajar, ia merasa tersinggung.
Refleksi Jurnalis di Bawah Terik Terminal
Ade menjauh dari bus. Ia duduk sebentar di kursi kayu di tepi jalur keberangkatan. Bukan karena tak mampu membayar 50 ribu. Tapi karena ia tidak rela harga ditentukan secara sepihak, apalagi dengan nada merendahkan. Ia tahu, penumpang lain pun sering mendapat perlakuan serupa.
Ia membuka ponsel, lalu menghubungi seseorang yang bisa ia percaya untuk bersikap profesional. Ia menelepon langsung ke Kasatlantas yang bertugas di wilayah Bekasi. Ia melaporkan secara jelas bahwa ada bus yang menarik tarif di luar batas kewajaran dan tidak menghargai penumpang, bahkan menunjukkan sikap kurang hormat pada profesi wartawan.
Dalam waktu kurang dari 20 menit, petugas Terminal Bekasi datang. Bus Putri Satu langsung dihampiri dan diberhentikan. Penumpang diminta turun satu per satu. Sopir dipanggil. Kenek diam seribu bahasa. Semua menjadi diam.
“Ini gara-gara lo, Nek,” kata seorang penumpang, menatap kenek dengan kesal. “Kalau dari awal ngomong baik-baik, gak bakal begini jadinya.”
Kenek tertunduk. Sopir menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak menyalahkan Ade. Justru sopir dan penumpang tahu, bahwa yang salah adalah perlakuan kenek yang terlalu arogan pada orang yang sekadar meminta keadilan tarif. Bahkan sopir meminta maaf langsung kepada Ade, dan mengakui bahwa memang keneknya sudah kelewatan batas.
Martabat, Bukan Harga Murah
Ade tidak merasa menang. Ia tidak ingin terlihat hebat. Tapi hari itu, ia tahu satu hal: pekerjaan sebagai wartawan bukan soal tampil di TV atau menulis headline sensasional. Tapi tentang membela yang benar, menyuarakan yang adil, dan mengingatkan siapa pun bahwa jabatan dan profesi tetap harus disertai etika dan sopan santun.
Hari itu ia pulang ke Cirebon naik bus lain. Dengan tarif normal. Dengan hati yang tetap tenang. Tapi di dalam tas kecilnya, cerita itu tetap ia simpan. Bukan untuk dibanggakan. Tapi sebagai pengingat bahwa menjadi wartawan adalah tentang keberanian bersikap meski di terminal sederhana.
Dari kejadian itu, ia menulis satu catatan kecil di HP-nya:
“Keadilan bukan tentang menang debat. Tapi tentang keberanian untuk tidak diam saat kebenaran diinjak-injak.”
Bahkan dalam situasi sepele seperti ongkos bus, nilai keadilan tetap harus ditegakkan. Jangan pernah anggap enteng suara rakyat kecil yang ingin diperlakukan dengan wajar.
Melanjutkan Perjalanan
Kejadian di Terminal Bekasi menjadi salah satu potongan penting dalam perjalanan hidup Ade. Bukan karena dramatisinya, tapi karena nilai-nilai yang diperjuangkan. Dari terminal itu, ia semakin yakin bahwa jalan hidup yang ia pilih—meski sunyi, sering dilupakan, bahkan dianggap remeh—adalah jalan yang benar.
Ia tak butuh panggung besar untuk menyuarakan kebenaran. Terminal pun cukup. Karena bagi Ade, kebenaran tidak butuh tempat elit—ia hanya butuh keberanian untuk diucapkan.
Catatan Penulis:
Bab ini saya tulis berdasarkan kejadian nyata di Terminal Bekasi awal tahun 2017, saat saya belum menikah dan hendak pulang ke Cirebon. Ongkos bus yang tidak masuk akal, sikap kasar kenek, dan keberanian saya untuk tetap berdiri di sisi keadilan menjadi pelajaran yang tak terlupakan.
Saya tidak bermaksud mencela profesi apa pun, termasuk sopir dan kenek. Saya percaya, banyak yang baik dan jujur di bidang itu. Tapi ada kalanya, seseorang harus bersuara ketika sesuatu tidak wajar terjadi. Bahkan jika itu hanya soal ongkos bus.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran, terutama bagi generasi muda yang bekerja di lapangan: bahwa martabat tidak bisa ditawar, dan kebenaran tidak boleh diam. Terima kasih telah membaca.
Salam hormat,
Hamdanil Asykar