NOVEL BAB 8: Jalan Berliku Menuju Media Sendiri
Sinopsis Bab Sebelumnya:
Setelah pengalaman pahit di Terminal Bekasi karena memperjuangkan keadilan tarif sebagai wartawan, Ade makin menyadari bahwa suara kebenaran harus terus disuarakan. Ia mulai merenungi perjuangan panjang sebagai jurnalis dari masa ke masa.
Langkah Awal yang Tak Lupa
Tahun 1992. Sebuah surat kabar mingguan di Semarang membuka pintu pertama dunia jurnalistik bagi seorang pemuda bernama Ade. Ia belum banyak tahu tentang teknik menulis berita atau cara memburu narasumber, tapi ada satu yang ia punya: keberanian. Bermodal pena, tekad, dan rasa ingin tahu, ia menjadi wartawan di Mingguan Dharma. Di sanalah ia belajar keras tentang disiplin, fakta, dan pentingnya menjaga etika profesi.
Selama lima tahun di Dharma (1992–1997), Ade menjalani hidup sederhana tapi penuh makna. Dari kantor redaksi yang sempit, kadang berlantai semen dingin, hingga mengejar berita dengan ongkos pribadi. Ia mulai mengenal dunia yang lebih luas—dunia di mana suara rakyat perlu disuarakan, dan kebenaran seringkali dibungkam oleh kekuasaan.
Meniti Karier di Majalah Persada Nusantara
Tahun 1993, Ade mulai berkontribusi di Majalah Persada Nusantara yang berpusat di Tasikmalaya. Awalnya hanya sebagai wartawan biasa. Namun keuletannya menarik perhatian atasan. Ade selalu tepat waktu, tulisannya tajam, dan laporannya mendalam. Ia bukan hanya jurnalis, tapi pengamat sosial yang mampu membaca tanda-tanda zaman.
Tahun 1997, ia dipercaya menjadi Kepala Biro Kota Bekasi. Jabatan ini bukan sekadar kehormatan, tapi juga ujian. Ia harus menangani konflik lokal, menggali data dari lapangan, dan membangun jaringan dengan berbagai instansi, tanpa menggadaikan prinsip. Di sini, ia diuji oleh kenyataan bahwa tidak semua orang suka pada wartawan idealis. Ia kerap mendapat ancaman, intimidasi, bahkan pernah diboikot iklan karena tulisannya mengusik kenyamanan pejabat.
13 Tahun Jadi Kepala Biro: Antara Idealisme dan Tekanan Ekonomi
Selama 13 tahun (1997–2010), Ade menyaksikan perubahan zaman, dari era cetak yang berjaya hingga mulai digerogoti oleh kehadiran internet. Ia tetap memegang prinsip: “Lebih baik tulisan saya tidak dimuat, daripada harus tunduk pada tekanan politik atau uang haram.”
Di tengah tekanan ekonomi dan kebutuhan rumah tangga, Ade memilih jalan sunyi: tetap berpegang pada integritas jurnalistik. “Jika media hanya menjadi corong kekuasaan, maka pers telah kehilangan jiwanya,” katanya suatu kali saat menolak meliput acara kampanye yang dibayar mahal oleh calon kepala daerah.
Dunia Redaksi dan Perubahan Besar
Tahun 2010, Ade menerima tawaran sebagai Redaktur Pelaksana (Redpel) di Suara Karya Bangsa (SKB), sebuah koran nasional yang tengah berkembang di Jakarta. Pemimpin redaksinya adalah Anis Jalal, jurnalis senior yang cukup idealis. Di sinilah Ade makin mengenal dunia redaksi yang lebih kompleks: dari mengelola halaman, menyunting berita, hingga mengatur ritme kerja wartawan.
Namun pengalaman sebagai Redpel tak sepenuhnya membuat Ade nyaman. Ia mulai merasakan adanya batasan. Banyak berita yang harus disesuaikan demi kepentingan tertentu. Tekanan dari pemilik modal kadang mengebiri isi berita yang seharusnya tajam. Hatinya mulai resah.
Mimpi Membangun Media Sendiri
Di tengah kelelahan menghadapi tekanan, Ade mulai memikirkan satu gagasan lama yang terus mengendap: membangun media sendiri. Media yang independen, berpihak pada kebenaran, dan tidak terikat pada kepentingan politik atau iklan. Ia mulai belajar hal-hal teknis tentang website, memantau tren media digital, dan membaca peluang masa depan.
“Kalau aku punya media sendiri, aku tak perlu lagi memohon keuangan dari sponsor untuk sekadar menerbitkan kebenaran,” bisiknya dalam hati. Ia sadar, membangun media bukan hal mudah. Tapi selama ia punya pengalaman, jaringan, dan prinsip yang kuat, impian itu bukan mustahil.
Langkah Awal Digital: Media Patriot
Ade akhirnya mewujudkan impiannya dengan mendirikan portal berita mediapatriot.co.id. Sebuah media yang dibangun dengan semangat kebangsaan, idealisme, dan kesederhanaan. Dengan modal awal dari tabungan pribadi dan bantuan beberapa sahabat, Ade mulai mengelola media digital dari rumah. Ia belajar SEO, desain layout, bahkan menulis sendiri konten berita.
Tidak mudah. Terkadang hanya satu berita per hari yang tayang. Terkadang, hanya satu pembaca yang berkomentar. Tapi ia percaya: “Konsistensi adalah kunci. Jika niat kita benar, semesta akan membuka jalannya.”
Dari rumah kecil di Bekasi, suara Media Patriot mulai terdengar. Pelan tapi pasti. Menyuarakan rakyat kecil, membongkar kebijakan yang tak adil, dan menghadirkan berita tanpa sensasi. Media ini bukan hanya media—tapi perlawanan terhadap ketidakadilan.
Catatan Penulis:
Bab ini adalah titik balik perjuangan Ade dalam dunia jurnalistik. Ia tidak sekadar menulis berita, tetapi ingin mengubah wajah media itu sendiri. Dari pengalaman menjadi wartawan, kepala biro, hingga redaktur pelaksana, semua mengarah pada satu misi: membangun media yang merdeka dan bermartabat.
Media Patriot bukan sekadar situs berita, tapi perpanjangan dari nurani yang tak mau tunduk. Sebuah perjuangan yang dimulai dari nol, tapi bernilai tak ternilai.