Oleh: Hamdanil Asykar
“Kita tak pernah tahu jalan hidup akan membawa kita ke mana, sampai akhirnya kita melangkah meski dengan setengah hati.”
Pagi itu, langit Jakarta tampak pucat. Kabut tipis belum benar-benar mengangkat dari langit timur ketika Ade berdiri di sudut lokasi syuting sebuah sinetron televisi swasta. Ia mengenakan seragam polisi, lengkap dengan atribut pangkat AIPDA—Ajun Inspektur Polisi Dua. Sejujurnya, hari itu Ade datang ke lokasi dengan perasaan campur aduk. Ia masih menganggap dirinya sekadar penggembira—figuran, atau dalam istilah dunia sinetron: “warga”. Tapi entah mengapa, panggilan casting kali ini terasa berbeda.
Ade sudah cukup lama wara-wiri di dunia figuran. Bukan karena ia bercita-cita menjadi aktor, tapi karena hidup membawanya ke sana. Setelah bertahun-tahun berkecimpung di dunia jurnalistik dan mengelola media kecil-kecilan, Ade merasa dunia hiburan bisa menjadi ruang baru untuk berkarya. Ia mulai dari peran-peran kecil: tukang parkir, pedagang kaki lima, atau kadang sekadar orang lewat di belakang tokoh utama.
Namun kali ini, perannya bukan sekadar figuran bisu. Ia diminta memerankan seorang polisi berpangkat AIPDA dalam sebuah adegan panjang. Awalnya, ia menduga peran itu akan tetap ringan. Tapi ternyata, ia diberi dialog. Bukan satu atau dua kalimat, melainkan satu halaman penuh naskah.
“Pak, Anda jadi AIPDA Ridwan ya. Ada briefing ke anak buah soal operasi malam ini,” ujar asisten sutradara, sembari menyodorkan script.
Ade terdiam sesaat. Setengah hati, ia terima tantangan itu. Ia tak punya banyak waktu untuk latihan. Sambil menunggu setting properti, ia membaca ulang naskah, menghafalnya secepat mungkin, dan membayangkan bagaimana ekspresi yang cocok. Sebagai mantan wartawan, Ade terbiasa mengamati gerak-gerik aparat kepolisian. Ia ingat bagaimana petugas asli berbicara, bersikap tegas, tapi tetap manusiawi.
Ade menarik napas panjang. Syuting dimulai.
Ternyata, peran AIPDA Ridwan adalah titik balik. Meski awalnya hanya ingin bantu-bantu, karakter itu mencuri perhatian. Bahkan sang sutradara memintanya kembali untuk episode selanjutnya.
“Pak Ade, saya suka gaya Anda. Natural. Mungkin nanti bisa naik jadi Bripka atau bahkan Brigadir. Siap?” gurau sang sutradara.
Ade hanya tersenyum. Tapi hatinya bergetar. Di balik senyum itu, ada rasa yang tak bisa dibohongi: ia merasa dihargai.
Dari Figuran ke Wajah Tetap
Hari-hari berikutnya, Ade mulai dikenal di lingkungan produksi sebagai “Pak Polisi yang satu itu.” Bukan hanya karena kemampuannya menghafal naskah dengan cepat, tapi juga karena sikapnya yang disiplin dan ramah. Ia datang tepat waktu, tak banyak mengeluh, dan selalu siap jika dipanggil. Bahkan kru menyebutnya sebagai salah satu figuran paling profesional.
“Pak Ade beda. Kalau dia syuting, kita yakin nggak bakal ribet,” kata seorang kru tata kamera suatu pagi.
Tawaran peran pun datang semakin sering. Dari AIPDA, ia kembali tampil di berbagai produksi televisi sebagai anggota polisi dengan peran yang lebih penting. Tak lagi hanya berdiri di barisan belakang. Ia mulai muncul di dialog, masuk di scene penting, dan tampil lebih banyak dari sekadar pelengkap layar.
Dalam salah satu adegan puncak, Ade harus memimpin penggerebekan di rumah tersangka. Ia berdiri di depan pintu, tangan terangkat memberi isyarat, lalu berteriak, “Buka! Kami dari Kepolisian!” Kamera menyorot wajahnya yang tegas namun tenang. Dialognya kuat. Ekspresinya utuh.
Semua orang di lokasi syuting terpana.
Memahami Dunia Polisi Lewat Kamera
Bagi Ade, memerankan polisi bukan hanya soal akting. Ia merasa seperti sedang menebus rasa penasaran lamanya sebagai wartawan. Ia memahami dinamika kepolisian dari dua sisi: dari balik meja redaksi dan kini dari balik kamera. Ia mengerti bahwa di balik kerasnya seragam, ada manusia dengan perjuangan, beban, dan rasa takut.
“Saya nggak mau akting jadi polisi yang galak doang. Harus ada sisi manusianya,” kata Ade dalam sebuah wawancara pendek di belakang layar.
Dan mungkin itulah yang membedakannya. Ia tidak bermain sebagai polisi; ia menjadi polisi—dengan sepenuh jiwa.
Setengah Hati yang Berbuah Sepenuh Jiwa
Obond—nama panggilan yang kemudian melekat di dunia hiburan dan TikTok—merasa perjalanan ini tak lepas dari kuasa Tuhan. Dulu, saat menjadi wartawan, ia tak pernah menyangka suatu hari akan mengenakan seragam polisi di depan kamera. Bahkan ketika pertama kali mengambil peran figuran, ia hanya ingin cari tambahan uang harian dan suasana baru.
Namun ternyata, setengah hati yang dibawanya ke lokasi syuting berubah menjadi panggilan batin yang baru. Ia belajar banyak hal: tentang konsistensi, kerja keras, dan keikhlasan menjalani peran sekecil apapun.
Perjalanan ini membawanya ke panggung yang lebih luas. Dari layar sinetron lokal, hingga ke film Korea yang diproduksi di Indonesia. Dari figuran tanpa nama, hingga menjadi “Pak Polisi AIPDA” yang ditunggu-tunggu penggemar di TikTok dan Fizzo.
Ia mungkin memulai dengan langkah yang ragu. Tapi nyatanya, langkah itu membawanya melampaui batas yang pernah ia bayangkan.
Ade merasa perjalanan ini tak lepas dari kuasa Tuhan. Dulu, saat menjadi wartawan, ia tak pernah menyangka suatu hari akan mengenakan seragam polisi di depan kamera. Bahkan ketika pertama kali mengambil peran figuran, ia hanya ingin cari tambahan uang harian dan suasana baru.
Namun ternyata, setengah hati yang dibawanya ke lokasi syuting berubah menjadi panggilan batin yang baru. Ia belajar banyak hal: tentang konsistensi, kerja keras, dan keikhlasan menjalani peran sekecil apapun.
Perjalanan ini membawanya ke panggung yang lebih luas. Dari layar sinetron lokal, hingga ke film Korea yang diproduksi di Indonesia. Dari figuran tanpa nama, hingga menjadi “Pak Polisi AIPDA” yang ditunggu-tunggu penggemar di TikTok dan berbagai platform.
Catatan Penulis:
Bab ini menjadi titik penting dalam perjalanan Ade sebagai insan kreatif yang menyeberang dari dunia jurnalistik ke dunia seni peran. Ia bukan hanya sekadar pengisi layar, tetapi telah menanamkan nilai-nilai disiplin, kesungguhan, dan ketulusan dalam setiap adegan yang dijalaninya. Dari peran figuran tanpa nama hingga menjadi sosok polisi berpangkat AIPDA yang diperhitungkan oleh tim produksi, perjalanan ini menyiratkan makna bahwa tak ada peran kecil jika dilakukan dengan sepenuh jiwa.
Penulis ingin menekankan bahwa keberhasilan seringkali dimulai dari langkah yang ragu. Ketika Ade menerima naskah dengan setengah hati, ia tak menyangka bahwa justru dari sana ia menemukan ruang baru untuk tumbuh dan memberi makna. Dunia peran bukanlah pelarian dari profesi sebelumnya, melainkan lanjutan dari perjuangan untuk tetap berkarya di jalur yang berbeda.
Setiap langkah kecil yang diambil dengan keraguan bisa menjadi pintu menuju pencapaian besar, selama dijalani dengan hati yang jujur.