ARTIKEL PENUGASAN: Sang Ibu Sedang Lara

Judul Halaman
%%footer%%


Disusun oleh : Rizky Agung Putra Chohari (191251199)

📲 Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID lewat WhatsApp Channel resmi kami:
👉 Klik di sini untuk bergabung

Dosen Pengampu : Tania Ardiani Saleh, Dra., M.S.

MATA KULIAH LOGIKA DAN PEMIKIRAN KRITIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA – 2025


Pendahuluan

Sang Ibu Sedang Lara
Oleh: Rizky Agung Putra Chohari

Hari demi hari gerakan para demonstran semakin tak terkendali. Pembakaran, perusakan, hingga penjarahan tak lagi terbendung. Kesabaran rakyat telah sampai pada titik ambang batas. Semua ini sebenarnya tak akan terjadi jika janji-janji yang disampaikan oleh para dewan benar-benar diwujudkan. Faktanya, janji-janji tersebut hanyalah sebatas omongan tanpa aksi nyata.

Ironisnya, dalam dokumen resmi Lampiran Buku 2/Ringkasan Penjelasan/RKA-KL/TA 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan bahwa lembaga tersebut memiliki peran strategis sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. DPR menilai kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat sangat bermanfaat untuk mendekatkan wakil rakyat dengan konstituennya di daerah pemilihan masing-masing.

Meskipun aksi-aksi demonstran seperti penjarahan jelas tidak bisa dibenarkan, terdapat bentuk “penjarahan” lain yang justru dilegalkan negara. Setiap detik, sistem negara memantau arus pergerakan mata uang rakyat secara real time. Dimanapun rakyat menukarkan uangnya, di situlah negara mengambil bagiannya melalui pajak dan retribusi—mulai dari PPN, pajak penghasilan, hingga pajak tersembunyi pada harga barang dan jasa yang dikonsumsi setiap hari.

Mekanisme ini memungkinkan negara mengumpulkan penerimaan pajak yang mencapai sekitar 73% dari total APBN 2025, setara dengan Rp 2.189 triliun.


Argumen / Isi

Transparansi penggunaan APBN menjadi isu yang terus mendapat sorotan publik, terutama pasca diumumkannya kenaikan tunjangan DPR. Langkah ini dianggap tidak tepat, mengingat kondisi bangsa yang masih penuh masalah. Tak heran bila ruang-ruang publik dipenuhi orasi dengan 17 desakan dan 8 poin reformasi.

Masalah utama bangsa ini belum terselesaikan sejak lama: jumlah penduduk miskin yang masih besar, biaya hidup yang kian tinggi, serta layanan publik yang belum merata. Di sisi lain, pungutan pajak justru semakin meningkat, menciptakan kontras tajam antara kewajiban rakyat dan manfaat nyata yang diterima.

RUU APBN 2025 menegaskan bahwa penerimaan perpajakan adalah penyangga utama pendapatan negara. Namun legitimasi penggunaannya harus bisa diverifikasi publik (Republik Indonesia, 2025). Kenaikan tunjangan DPR periode 2024–2029 justru memperbesar resistensi karena dipersepsikan tidak selaras dengan efisiensi belanja negara (Fika, 2025).

Secara perbandingan, Indonesia bukan negara dengan tarif pajak tertinggi (Fitriya, 2024). Masalahnya bukan pada tarif, melainkan pada kualitas layanan publik dan transparansi penggunaannya. Kepercayaan publik juga tergerus oleh laporan kerugian negara akibat korupsi yang mencapai Rp 290 triliun pada periode sebelumnya (Abdurahman, 2024).

Pelajaran krisis 1997/1998 menegaskan pentingnya kredibilitas kebijakan, disiplin fiskal, dan tata kelola institusi (Arifin, 1999). Oleh karena itu, realisasi APBN harus dipublikasikan hingga tingkat program, lokasi, dan sasaran dalam format data terbuka.

Implementasi standar Open Data—katalog, API, interoperabilitas, dan keterlacakan—akan memungkinkan warga, peneliti, serta pengawas independen memantau aliran anggaran secara berkala (Agency for Digital Government, n.d.). Remunerasi pejabat publik, termasuk tunjangan DPR, sebaiknya ditautkan pada indikator kinerja yang jelas dan dipublikasikan agar legitimasi fiskal kembali menguat (Fika, 2025).

Dengan demikian, mempersempit jarak antara pungutan dan manfaat menuntut kombinasi:

  1. Prioritas belanja yang jelas,
  2. Transparansi realisasi, dan
  3. Integritas pelaksanaan.

Penutup

Meskipun Indonesia telah merdeka selama delapan dekade, membangun kepercayaan fiskal tetap menuntut upaya serius untuk menutup jarak antara beban pajak dan manfaat layanan yang nyata. APBN 2025 memang menempatkan perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan sebagai prioritas, namun prioritas tersebut baru bermakna jika realisasinya terukur hingga ke tingkat program dan kelompok sasaran.

Di tengah sorotan publik atas kenaikan tunjangan DPR 2024–2029, legitimasi kebijakan fiskal harus ditopang oleh kinerja nyata yang terbuka ke publik. Perbandingan internasional mengingatkan bahwa inti masalah bukan sekadar besaran tarif, melainkan kualitas layanan dan transparansi.

Pencegahan kebocoran menjadi hal mendesak mengingat besarnya kerugian negara akibat korupsi. Belajar dari krisis 1997/1998, kredibilitas kebijakan, disiplin fiskal, dan tata kelola adalah fondasi ketahanan ekonomi. Karena itu, percepatan adopsi keterbukaan data menjadi kunci agar rakyat dapat memantau langsung aliran dana dan capaian program.

Dengan pijakan tersebut, narasi “Sang Ibu Sedang Lara” ditutup sebagai ajakan kolektif: setiap rupiah pajak harus dipetakan ke output dan outcome yang jelas, terukur, dan dapat diaudit. Negara tidak boleh hanya pandai memungut, tetapi juga wajib mengembalikan manfaatnya dalam bentuk pelayanan publik yang layak.

Kata Kunci: Golongan bawah, Keadilan, Krisis, Masyarakat


Daftar Pustaka



Wartawan di lapangan dibekali Kode Sandi untuk membuka DAFTAR WARTAWAN Dibawah ini: DAFTAR WARTAWAN >>>





Tentang Kami

Mediapatriot.co.id adalah portal berita online nasional yang menyajikan informasi aktual, terpercaya, dan berimbang.

Didirikan oleh jurnalis senior Hamdanil Asykar, Mediapatriot.co.id berkomitmen menjaga integritas jurnalistik sesuai Kode Etik Dewan Pers.

Misi kami adalah menjadi media digital yang membangun kesadaran publik melalui berita edukatif, mendalam, dan bebas hoaks.

Untuk pertanyaan, saran, atau kerja sama media, silakan kunjungi halaman Kontak.

📲 Simak Berita Terpercaya Langsung di Ponselmu!

Ikuti MediaPatriot.CO.ID lewat WhatsApp Channel resmi kami:
👉 Klik di sini untuk bergabung

Posting Terkait

Jangan Lewatkan