Dosen Pengampu : Tania Ardiani Saleh, Dra., M.S.
Disusun oleh : ‘Aisyah Wardatul Firdaus (177251020)
MATA KULIAH : Logika dan Pemikiran Kritis
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2025
BRAINROT CULTURE MENJADI MESIN PENCIPTA BAHASA DAN IDENTITAS GEN Z
Oleh: ‘Aisyah Wardatul Firdaus
Pendahuluan
Istilah brainrot dikenal luas di berbagai media sosial seperti TikTok dan Instagram. Awalnya istilah ini dianggap negatif karena dikaitkan dengan dampak konsumsi konten pendek secara berlebihan. Namun, pandangan tersebut sesungguhnya merupakan bentuk pemahaman yang dangkal.
Di balik persepsi itu, Brainrot justru telah berkembang menjadi fenomena budaya yang dikenal sebagai Brainrot Culture. Ia merupakan ekosistem tempat Generasi Z menciptakan dan menggunakan bahasa, istilah, serta mitos baru melalui meme absurd dan inside joke. Artikel ini akan membahas Brainrot Culture sebagai bahasa, alat pembangun komunitas, sekaligus hasil dari algoritma media sosial.
Argumen atau Isi
Dalam Brainrot Culture, terjadi penciptaan kosakata baru dan perubahan semantik yang berlangsung sangat cepat dan efisien. Istilah seperti “Skibidi Toilet” yang berasal dari serial animasi absurd Garry’s Mod, “Sigma” untuk menggambarkan pria lone wolf, “Gyatt”, hingga penggunaan kata “Lobotomy” di luar konteks medisnya, bukan sekadar lelucon sembarangan. Mereka adalah unit leksikal baru dalam dialek internet Gen Z.
Proses ini dapat dijelaskan melalui konsep linguistik enregisterment (Agha, 2003), yakni bagaimana variasi bahasa dikaitkan dengan persona sosial tertentu dan diakui oleh komunitas wacana.
Brainrot Culture memfasilitasi enregisterment dengan kecepatan luar biasa. Sebuah audio atau frasa dari video berdurasi 15 detik dapat, hanya dalam hitungan minggu, menjadi konsep dengan makna spesifik yang dipahami jutaan orang.
Contohnya adalah istilah “Sigma”. Awalnya bermakna pria mandiri dan cool, namun kini digunakan secara ironis untuk mengejek stereotip macho yang dianggap konyol. Dengan memakai istilah ini, Gen Z merasa menjadi bagian dari komunitas yang berbagi selera humor yang sama.
Konten Brainrot Culture sering dianggap aneh dan tidak masuk akal, seperti video kepala toilet yang bernyanyi. Namun justru di situlah letak nilai budayanya. Bagi Gen Z, humor absurd dan ironis terasa lebih jujur dibandingkan konten yang terlalu serius dan kaku.
Penelitian Tarleton Gillespie (2014) tentang algorithmic culture menjelaskan bagaimana algoritma platform media sosial membentuk budaya. Algoritma TikTok, misalnya, dirancang untuk mempromosikan konten dengan engagement tinggi (like, share, komentar), tanpa terlalu peduli pada konteks atau nilai produksinya. Konten absurd, repetitif, emosional, dan berbasis tren (meme) justru sangat efektif meraih engagement. Inilah yang menjadikan algoritma berperan besar dalam membentuk budaya Brainrot.
Penutup
Fenomena Brainrot Culture kerap dianggap masalah bila dilihat dari luar konteks. Pandangan semacam itu hanya memperkuat anggapan bahwa brainrot merusak kognisi otak. Padahal, bagi Gen Z, Brainrot Culture merupakan medium berkomunitas sekaligus cara berkomunikasi.
Menyadari fenomena ini lebih baik daripada sekadar menilainya sebagai penyimpangan. Menghargai Brainrot Culture penting untuk memahami dinamika komunikasi dan kehidupan sosial generasi muda masa kini.
Referensi
- Agha, A. (2003). The social life of cultural value. Language & Communication, 23(3–4), 231–273. https://doi.org/10.1016/S0271-5309(03)00012-0
- Gillespie, T. (2014). The relevance of algorithms. In T. Gillespie, P. J. Boczkowski, & K. A. Foot (Eds.), Media technologies: Essays on communication, materiality, and society (pp. 167–194). MIT Press. https://doi.org/10.7551/mitpress/9780262525374.003.0009
- Milner, R. M. (2016). The world made meme: Public conversations and participatory media. MIT Press.
- Nissenbaum, A., & Shifman, L. (2017). Internet memes as contested cultural capital: The case of 4chan’s /b/ board. New Media & Society, 19(4), 483–501. https://doi.org/10.1177/1461444815609313
- Abidin, C. (2021). Mapping internet celebrity on TikTok: Exploring attention economies and visibility labours. In S. Cunningham & D. Craig (Eds.), Creator culture: An introduction to global social media entertainment (pp. 79–96). NYU Press.











